Jakarta – Bangsa Indonesia tengah ‘diganggu’ dengan keberadaan berita bohong (hoax) serta ujaran kebencian (hate speech) yang menyebar viral di media sosial. Ironisnya, hoax dan hate speech sulit dibendung ditengah kemajuan teknologi informasi. Malah, hoax juga dimanfaatkan kelompok radikal untuk melakukan provokasi yang bertujuan untuk merusak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Kelompok radikal sangat pintar memanfaatkan hoax untuk melakukan provokasi. Ini bahaya karena kelompok radikal ingin memecah belah NKRI. Untuk itu, kita harus bisa memperkuat diri dengan saling berbagi, saling menyantuni, saling mengajarkan yang baik. Juga jangan saling menghujat, jangan mudah percaya terhadap sumber berita yang belum tentu benar agar keberagaman yang ada di dalam bangsa ini tidak mudah terpecah belah,” ujar pakar agama juga mantan rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prof. DR. H. Yusny Saby, MA, Ph.D di sela-sela Rakornas FKPT di Jakarta, akhir pekan kemarin.
Menurutnya, keberadaan hoax dan hate speech ini tidak lepas dari kultur masyarakat Indonesia yang selama ini kadang sudah tidak percaya lagi mana berita benar dan mana yang tidak. Itu terjadi karena terlalu seringnya beredar berita hoax di media dan hate speech di media sosial.
Karena itu, lanjut pria yang juga Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Aceh ini, harus ada lembaga yang benar-benar bisa menjadi panutan bagi masyarakat dalam memerangi hoax dan hate speech.
“Tidak harus lembaga agama, karena faktanya masih ada lembaga agama yang kadang juga menciptakan sebagian dakwah-dakwah yang memprovokasi. Ini sangat menyedihkan,” ungkap Yusny.
Lembaga semacam ini jelas tidak mendidik dan mencerdaskan bangsa karena tidak bisa membuat karakter orang agar menjadi jujur, santu, dan saling menghormati dalam bingkai toleransi beragama. Ia mencontohkan masih ada lembaga agama yang mengatakan dia kafir, ini musuh, dan sebagainya.
“Kalau hal semacam ini dibiarkan maka nanti yang terbina justru musuh. Padahal semua makhluk Allah itu saudara kita semua. Marilah saling menghormati, jangan menghujat satu sama lain,” imbaunya.
Untuk merealisasikan itu, Yusny Saby mengajak seluruh umat manusia untuk saling berbagai, menyantuni, mengajarkan yang baik, dan tidak mudah percaya dengan sumber berita yang belum tentu benar. Langkah ini dinilai bisa menjadi modal untuk menghilangkan atau meminimalisasi sikap dan perilaku menciptakan kebohongan.
Lebih penting lagi, pemerintah diharapkan bisa membuat langkah tepat untuk meredam hoax dan hate speech ini. Caranya pemerintah bisa menjadi sumber informasiyang benar. Artinya pemerintah, apakah itu pejabat atau lembaganya, tidak boleh mengeluarkan pernyataan yang tidak benar, apalagi memodifikasi berita seperti jaman dulu.
“Rakyat itu cenderung mengikuti pola tingkah laku pemimpin mereka. Ini teori klasik tapi masih cukup tajam di jaman sekarang,” tutur Prof Yusny Saby.
Apalagi, tegas Yusny, saat ini di Indonesia sedang musim Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang melibatkan banyak partai politik, yang selama ini menjadi sumber berita hoax. Belum lagi dengan adanya lembaga survei yang menjamur sehingga banyak terjadi saling klaim sesuai dengan ‘pesanan’.
Salah satu lembaga yang bisa meluruskan ini adalah lembaga pendidikan. Yusny menilai di lembaga pendidikan, guru-guru yang mengatakan yang benar, dan tidak sekadar ngomong yang terkesan berbohong. Juga peran keluarga tidak bisa diabaikan.
“Lembaga pendidikan sebagai produk. Kalau pendidikan berbohong, birokrasi juga bohong, maka jangan heran kalau dalam keluarga akan suka berbohong,” pungkas Yusny Saby.