Jakarta – Pemerintah Indonesia telah menetapkan pandemi Covid-19 ini, menjadi bencana nasional dan membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganannya. Namun kebijakan komprehensif pemerintah tampaknya masih menuai kritik bahkan resistensi dari berbagai elemen masyarakat, yang cenderung menuntut agar tegas menyikapi ancaman serius lain, yakni radikalisme.
Dampak pandemi Covid-19 ini, menyebabkan beralihnya fokus aparat keamanan dimanfaatkan oleh kelompok lain yang berkepentingan anti Pemerintah untuk memperburuk situasi dan kondisi. Hal tersebut, dijadikan peluang bagi gerakan radikalisme membangun dan memperkuat sentimen negatif atau ketidakpercayaan publik kepada pemerintah.
Tentunya dengan menebar berita-berita hoax terkait kegagalan negara dalam penanganan Covid-19. Pemerintah bersama masyarakat harus bersatu dan bekerjasama untuk segera menangani ancaman penyebaran dan dampaknya. Hal itu terungkap saat dialog interaktif (talkshow) di PRFM untuk membahas lebih deailnya.
Peneliti Senior Badan Litbang Kementerian Agama, Abdul Jamil Wahab mengatakan, motif gerakan terorisme adalah motif keagamaan dan balas dendam. Mereka akan terus berjuang hingga sistem khilafah islamiyah berhasil mereka dapatkan.
“Tentunya ada hal yang dilematis, media menjadi partner bagi radikalisme, karena secara tak langsung, media justru memberikan promosi bagi mereka. Berita terkait radikalisme menjadi marketable. Sebagai contoh, ada pemakaman dua terduga terorisme, hal itu diberitakan sangat luas,” katanya.
“Dalam perspektif terorisme, ini bisa menjadi sesuatu yang kontraproduktif. Jangan sampai orang yang mati ditembak karena diduga teroris dianggap menjadi mati syahid,” imbuhnya.
Agama, katanya, tidak mungkin mengajarkan kekerasan. Apalagi, ada video yang baru beredar terkait penembakan aparat keamanan dengan sengaja. Media perlu mengimbangi informasi-informasi yang sifatnya propaganda dari kaum radikalis seperti itu.
“Dalam kasus terorisme di Tambora, Jakarta Barat misalnya, penangkapan berawal dari kesigapan masyarakat. Kewaspadaan harus dilanjutkan dalam masa pandemi ini. Narasi-narasi yang sifatnya mencerahkan dan membantu masyarakat, harus terus dilakukan,” papar Wahab.
Senada dengan Jamil, Pendiri Negara Islam Indonesa Crisis Center, Ken Setiawan menganggap terkait radikalisme, adanya pandemi Covid ini, tetap bergerak. Mereka memojokkan pemerintah bahwa pemerintah gagal dalam memberikan rasa aman.
“Ujungnya mereka mengatakan penanganan Covid ini, salah karena negara tak menganut sistem khilafah. Hal ini, tentu tak pantas, banyak kebijakan pemerintah yang dinilai tak memihak Islam, seperti tak boleh jum’atan dan tarawih. Tujuannya baik, sudah lihat beberapa saudara kita yang terkena positif Covid-19 usai Sholat,” ungkap pria yang pernah menjadi komandan NII ini.
Situasi Covid-19 ini, pasalnya, mereka menganggap seperti peristiwa perang, sama seperti pemilu kemarin, dimana narasi-narasi cebong dan kampret muncul kembali. Terlebih, masyarakat yang tak memiliki penghasilan tetap sangat terdampak, ini lebih rentan dihasut oleh kelompok teroris.
“Kami mengimbau pada aparat agar meningkatkan pengawasan, saat Ramadhan mereka menganggap amaliyah seperti pengeboman maupun tindakan kekerasan kepada aparat akan mendapat pahala yang lebih besar,” ucapnya.
Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Pengamat Terorisme dari UI yang juga dosen Ilmu Hubungan Internasional UI, Aisha Kusumasomantri, menjelaskan negara ini tengah mengalokasikan segala sumber daya untuk menangani Covid-19.
“Peluang kelompok radikal untuk mengkritisi pemerintah, khususnya penanganan PSBB oleh pemerintah. Hal ini, berpotensi menimbulkan distrust atau ketidakpercayaan. Bahaya radikalisme tak hilang, walaupun tidak melalui pertemuan tradisional, tetapi melalui chatting media sosial,” jelasnya.