New York – Baru-baru ini, Amerika Serikat (AS) mendeklarasikan Gerakan
Ansarullah Yaman adalah gerakan teroris. Ironisnya, Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) justru menyatakan akan tetap berkomitmen untuk
terus membantu warga Yaman.
Juru Bicara PBB Stephane Dujarric menyatakan bahwa Keputusan AS untuk
memasukkan Gerakan Ansarullah Yaman ke dalam daftar kelompok teroris
adalah keputusan yang dibuat oleh satu negara tanpa melibatkan PBB.
“Yaman sangat bergantung pada impor barang dan bantuan kemanusiaan.
PBB berkomitmen untuk terus membantu warga Yaman berdasarkan prinsip
netralitas,” kata Dujarric.
Dujarric memperingatkan bahwa sanksi sepihak dari sebuah negara dapat
mempengaruhi masyarakat di negara penerima sanksi.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken mengumumkan bahwa
keputusan Washington untuk memasukkan Gerakan Ansarullah Yaman ke
daftar kelompok teroris akan mulai berlaku setelah 30 hari.
Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan juga mengklaim
bahwa keputusan itu, adalah respon atas ancaman dan serangan
bertubi-tubi di Laut Merah.
“Jika Ansarullah berhenti melakukan serangan di Laut Merah dan Teluk
Aden, AS akan mengevaluasi kembali keputusan ini,” kata Sullivan.
Presiden AS Joe Biden menyebut Gerakan Ansarullah Yaman sebagai
teroris saat dia berbincang dengan wartawan di Pennsylvania.
Dengan dimulainya serangan genosida Israel atas Gaza dan pengeboman
bertubi-tubi di pemukiman, sekolah, dan rumah sakit di Palestina,
kelompok perlawanan di kawasan tersebut mulai melakukan pembalasan
terhadap Israel dan pendukung utamanya AS.
Tentara Yaman merespon pembantaian Israel terhadap warga Palestina
dengan menyasar pos-pos Israel, kapal-kapal milik negara itu, dan
kapal yang menuju ke pelabuhan Israel di wilayah Palestina yang tengah
diduduki.
Ini bukan pertama kalinya AS mengambil langkah tegas sepihak terhadap
gerakan perlawanan Yaman.
Pemerintahan AS sebelumnya, yang dipimpin oleh Presiden Donald Trump,
sempat memasukkan Ansarullah ke dua daftar dan menetapkan gerakan itu
sebagai terorisme sehari sebelum masa jabatannya berakhir.
Keputusan itu membuat PBB, kelompok bantuan, dan beberapa anggota
parlemen AS menyatakan ketakutan mereka bahwa sanksi tersebut dapat
mengganggu masuknya makanan, bahan bakar, dan komoditas lainnya ke
Yaman yang saat itu dilanda perang.
Pada Februari 2021, Pemerintahan Biden menarik kembali keputusan
tersebut sebagai pengakuan atas situasi kemanusiaan yang genting di
Yaman, setelah PBB menyatakan bahwa krisis kemanusiaan di Yaman sangat
parah, di mana lebih dari 21 juta orang membutuhkan bantuan.
Berdasarkan perkiraan PBB, lebih dari 80 persen populasi Yaman masih
kesulitan untuk mengakses makanan, air layak minum, dan layanan
kesehatan yang memadai.