AS Segera Cabut Houthi Yaman Dari Daftar Teroris

AS Segera Cabut Houthi Yaman Dari Daftar Teroris

Washington DC – Amerika Serikat (AS) segera akan mencabut kelompok Houthi Yaman dari daftar teroris. Langkah itu dilakukan sebabai tanggapan atas krisis kemanusiaan di negara itu. Houthi dimasukkan daftar teroris oleh AS sehari sebelum Presiden Donald Trump lengser.

Pencabutan itu dikonfirmasi seorang pejabat Departemen Luar Negeri (Deplu) AS. Kabar ini muncul sehari setelah Presiden Joe Biden mengumumkan penghentian dukungan AS untuk kampanye militer yang dipimpin Arab Saudi di Yaman.

Selama ini perang di Yaman dipandang sebagai konflik proksi antara Arab Saudi dan Iran. Perang di Yaman telah menewaskan banyak warga sipil di negara tersebut.

“Tindakan kami sepenuhnya karena konsekuensi kemanusiaan dari penetapan menit-menit terakhir dari pemerintahan sebelumnya, yang oleh PBB dan berbagai organisasi kemanusiaan dianggap dapat mempercepat krisis kemanusiaan terburuk di dunia,” jelas pejabat Deplu itu.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggambarkan Yaman sebagai krisis kemanusiaan terbesar di dunia, dengan 80% rakyatnya membutuhkan bantuan.

“Kami menyambut niat yang dinyatakan pemerintah AS untuk mencabut penetapan itu karena akan memberikan bantuan besar kepada jutaan warga Yaman yang mengandalkan bantuan kemanusiaan dan impor komersial untuk memenuhi kebutuhan dasar kelangsungan hidup mereka,” papar juru bicara PBB Stephane Dujarric.

Mantan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo memasukkan Houthi ke daftar hitam pada 19 Januari, sehari sebelum Biden resmi menjabat. Pemerintahan Trump mengecualikan kelompok bantuan, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Palang Merah, dan ekspor komoditas pertanian, obat-obatan, dan perangkat medis dari penetapan itu.

Namun para pejabat PBB dan kelompok bantuan mengatakan pengecualian itu tidak cukup. Mereka pun menyerukan agar kebijakan itu dicabut.

Pejabat Departemen Luar Negeri AS menekankan bahwa tindakan tersebut tidak mencerminkan pandangan AS tentang Houthi dan perilaku tercela mereka.

Pejabat PBB berusaha menghidupkan kembali pembicaraan damai karena negara itu juga menghadapi krisis ekonomi dan pandemi COVID-19.