Washington – Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo pada Selasa (12/5), meminta pemerintah Afghanistan dan Taliban untuk bekerja dalam mengadili para pelaku serangan terhadap sebuah rumah sakit di Kabul dan pemakaman di Nangarhar yang menewaskan puluhan orang, termasuk dua bayi yang baru lahir.
“Kami mencatat bahwa Taliban telah membantah bertanggung jawab dan mengutuk kedua serangan itu sebagai tindakan keji. Taliban dan pemerintah Afghanistan harus bekerja sama untuk membawa para pelaku ke pengadilan,” kata Pompeo.
Taliban, kelompok yang pada Februari menandatangani kesepakatan untuk penarikan pasukan AS secara bertahap, membantah bertanggung jawab atas kedua serangan itu. Sedangkan, afiliasi regional ISIS beroperasi di Nangarhar pada awal pekan ini.
Orang-orang bersenjata yang mengenakan seragam polisi menyerbu sebuah rumah sakit di bagian tempat bersalin yang dioperasikan oleh organisasi kemanusiaan internasional Doctors without Borders. Secara terpisah, seorang pembom bunuh diri menyerang pemakaman seorang komandan polisi.
“Amerika Serikat mengutuk dua serangan mengerikan di Afghanistan,” kata Pompeo dalam sebuah pernyataan.
Pompeo menyebutkan jumlah korban meninggal dunia sebanyak 13 orang di rumah sakit, termasuk dua bayi yang baru lahir, ibu, dan petugas kesehatan. Sedangkan, pengemboman di pemakaman menewaskan sedikitnya 26 orang dan lebih dari 69 lainnya terluka.
Tapi, laporan Reuters menyatakan, setidaknya 16 meninggal, termasuk dua bayi yang baru lahir, dalam serangan di rumah sakit. Untuk peristiwa pengemboman di pemakaman memakan korban jiwa sebanyak 24 orang dan 68 terluka
Pompeo menyebut serangan rumah sakit merupakan tindakan kejahatan luar biasa. Mereka yang melakukan pengemboman pemakaman hanya berusaha untuk menghancurkan ikatan yang menyatukan keluarga dan masyarakat. “Namun, mereka tidak akan pernah berhasil,” katanya.
Menteri Luar Negeri AS itu juga menyatakan, tanpa adanya pengurangan kekerasan yang berjalan secara konsisten maka kesepakatan damai akan sulit dinegosiasikan. Kondisi tersebut pun membuat Afghanistan tetap rentan terhadap terorisme.