Judul di atas kiranya tidaklah berlebihan. Pada penghujung 2016 sampai 2017 penulis berkali-kali diundang untuk menghadiri sedikitnya lima negara dalam berbagai acara dengan tema counter terrorism mulai dari seminar, dialog hingga Forum Group Discussion (FGD). Dalam berbagai kesempatan tersebut, terungkap beberapa negara sangat mengapresiasi langkah Indonesia dalam memerangi terorisme, bahkan menyatakan keinginannya untuk belajar dari Indonesia.
Indonesia dianggap telah sukses menangani terorisme dengan model pendekatan yang khas sesuai dengan kultur, budaya dan sosial-politik yang melingkupinya. Bidang yang menarik dan menyita negara-negara umumnya adalah ” bagaimana Indonesia bisa mengkombinasikan, mensinkronisasikan dan memadukan antara penegakan hukum yang simultan dan sangat keras dengan pendekatan lunak” serta “bagaimana Indonesia mampu mendeteksi dan mencegah hampir setiap rencana serangan teroris”. Mereka para perwakilan negara sahabat tersebut menyebutnya sebagai “hard approach, preventive justice versus soft approach“. Kedua pendekatan ini dipandang sebagai dua entitas yang dikotomik. Tetapi, inilah justru resep penanganan dan pencegahan terorisme yang hanya ada di Indonesia.
Kilas Terorisme di Indonesia tahun 2016-2017
Tidak bisa dipungkiri bahwa maraknya penangkapan teroris akhir-akhir ini membuat masyarakat terhenyak dan terkaget betapa ancaman terorisme itu senantiasa ada di tengah kita. Masyarakat hampir dipastikan tidak bisa mengenali dan tidak mengetahui aktivitas dan jaringan sel bawah tanah terorisme yang ada, bahkan dekat di dalam lingkungan keseharian mereka. Mereka berbaur di tengah komunitas sosial sebagaimana yang dilakukan masyarakat pada umumnya.
Biasanya kita baru terheran-heran saat teroris yang notabene tetangga kita ditangkap oleh aparat. Hal tersebut misalnya yang terjadi pada kasus penjemputan seorang deportan yang diduga terlibat ISIS dari Turki. Fakta yang lebih mengagetkan bahwa ia adalah anggota DPRD Pasuruan yang bernama Muhamad Nadir Umar. Ia diamankan di terminal 2 Bandara Internasional Juanda yang tiba jam 15.21 WIB setelah turun dari pesawat Air Asia Nomor penerbangan XT 327 route Turki-Kuala Lumpur-Surabaya.
Kasus menarik lainnya bahwa pada hari Jumat 7 April 2017 lalu, tiba-tiba masyarakat dihebohkan saat tiga teroris dari kelompok Jamaah Asharut Daulah (JAD) pimpinan Aman Abdurrahman ditangkap oleh Densus 88 AT di Kecamatan Paciran lamongan. Tiga teroris itu adalah Zainal Anshori (ZA), Adi Bramadinata (AB), dan Zainal Hasan (ZH). Zainal Anshori selama ini diketahui dan teridentifikasi sebagai pimpinàn kelompok ini . Dia pernah mengikuti latihan militer di Filipina dan melakukan pembelian senjata api di Filipina. Bahkan dua dari lima senjata api miliknya dipakai saat peristiwa bom Thamrin 2016 tahun lalu. Sementara peran Adi Bramadinata (AB) adalah yang membuat perencanaan penyerangan Polsek Brondong di Lamongan. Sedangkan Zainal Hasan bersama Zainal Anshori terlibat dalam melakukan aksi pidana terorisme melakukan transaksi senjata api di Sangir Talaud Sulawesi utara.
Belum lebih dari sehari setelah kasus Lamongan, pada hari Sabtu tanggal 8 April 2017, enam teroris JAD sisa kelompok Paciran, Lamongan melakukan penembakan Pos Polisi Pereng, Jati Peteng, Kecamatan Jenu Kabupaten Tuban. Dengan mengendarai mobil rental APV warna putih Nopol H 9037 BZ, mereka menepikan kendaraan di depan Pos Polisi, dan pelaku yang duduk di bangku tengah mengeluarkan pistol dan menembak tiga kali tembakan ke arah Pos Polisi. Akhir drama tersebut setelah terjadi pengejaran kebun jagung dengan kontak tembak terjadi 5 jam, keenam pelaku dapat ditembak. Lima tidak membawa identitas, satu pelaku memiliki passport bernama Satria Aditama umur 19 tahun, beralamat di Semarang. Dari tangan pelaku ditemukan enam pucuk senjata rakitan, dan dua senjata api pistol bareta 9mm yang diduga digunakan untuk menyerang Pos Polisi. Kesemua pelaku dipastikan sebagai kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Di samping penangkapan aktual tersebut, sebetulnya masih banyak penangkapan yang kurang terekspos oleh media seperti penangkapan di Bekasi, Majalengka, Tangerang selatan, Batam, Ngawi, Solo, Purworejo, Paya Kumbuh, Deli Serdang, Purwakarta dan di berbagai tempat lainnya. Sedangkan dari tahun 2000 sampai September 2015 saja, jumlah penindakan sebanyak 1.143 orang, yang sudah selesai menjalani hukuman 501 orang, dan yang masih menjalani hukuman 328 orang.
Kasus terorisme yang terjadi sepanjang 2016 dan 2017, yang sempat membuat masyarakat bergetar dan ingin marah adalah enam kasus ; kasus bom Thamrin, Bom Mapolreta Solo, Kasus Penyerangan Polisi Tangerang, Medan dan Kasus Samarinda. Sungguhpun ke enam kasus tersebut dibuat dengan kualitas Bom yang rendah, tapi tetap saja sangat menakutkan masyarakat. Dan itulah tujuan terorisme, yakni menebar ketakutan di tengah masyarakat.
Mengukur dan Membandingkan dengan Negara Lain
Meskipun banyak kejadian dan potensi ancaman di Indonesia, banyak pengamat dunia mencatat bahwa hanya otoritas Indonesia yang mampu menggagalkan semua perencanaan teror ISIS. Pertanyaannya, apakah pnilaian itu hanya pujian belaka atau ada indikator yang mengatakan bahwa Indonesia mempunyai prestasi dalam penanggulangan terorisme. Untuk mengukur kualitas penanganan terorisme khususnya ancaman ISIS di Indonesia perlu rasanya membandingkan dengan negara-negara lain.
Saya ingin mulai dengan menengok teror dari Mesir sampai Paris yang gagal di antisipasi. Pada hari minggu tanggal 9 April 2017 sedikitnya 44 Jemaat Gereja Kristen Koptik , St George di Kota Tanta yang berjarak 90 mil dari Cairo Mesir tewas, dan 70 dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi terluka saat merayakan Hari Minggu Palma. Hal ini mengungkap luka lama Desember lalu di gereja catedral Koptik di Kairo yang menewaskan 25 orang dan melukai 45 lainnya.
Begitupun kasus di Stockholm beberapa hari sebelumnya di mana sebuah truk ditabrakan oleh teroris di kerumunan orang di sebuah pusat perbelanjaan di wilayah Drottninggatan, pusat kota Stoskholm Swedia. Pemerintah Swedia melakukan antisipasi dengan menutup stasiun kreta api bawah tanah. Masih di Eropa, pada hari selasa tanggal 4 April 2017, kota St Petersburg , Rusia juga diguncang aksi teror yang menewaskan setidaknya 14 orang. Berlanjut pada tanggal 22 Maret 2017, Inggris juga berduka cita saat seorang teroris membawa kendaraan dengan membabi buta, menabrak pejalan kaki. Seorang polisi yang sedang berjaga ditikam. Walaupun pelaku berhasil ditembak mati, lima orang tewas dan yang lain luka berat dalam kasus yang dikenal dengan kasus ” Jembatan Westminster” itu.
Apabila kita mundur pada tahun sebelumnya, pada tanggal 26 Juli 2016 dua pelaku teror, anggota ISIS menyerang gereja di Perancis. Pelaku menyandera lima orang yang sedang melaksanakan ibadat Misa pagi. Seorang pendeta jadi korban aksi ini. Namun pelaku berhasil ditangkap dan semua sandera dibebaskan. Beralih ke Turki, pada 28 Juni 2016 Bandara Atarturk Istambul di Bom. Akibatnya 37 tewas karena serangan bunuh diri tiga anggota ISIS tersebut. Perancis pun kembali berduka tepatnya di Nice tanggal 14 Juli 2016 di mana pelaku menabrakan truk ke sebuah kerumunan orang. Akibatnya, 80 orang meningal. Belgia juga mengalami hal serupa. Pada tanggal 22 Maret 2016, tiga ledakan terjadi di Kota Brusel. Dua ledakan di Bandara Zaventem dan sebuah ledakan di stasiun kreta api bawah tanah dekat Kantor Pusat Uni Eropa. Akibat serangan tersebut 150 orang tewas. Pada tahun sebelumnya, tanggal 13 November 2015, 130 orang tewas dalam serangan membabi buta di kafe, restorant, tempat konser sehingga stadion olah raga.
Lalu, bagaimana dengan potensi ancaman dan jaringan ISIS di Asia tenggara? Seiring dengan melemahnya di Irak dan syuriah, ISIS di wilayah Asia Tenggara justru menunjukkan geliatnya. Hal ini seiring dengan perintah juru bicara isis Abu muhamad al Muhajeer pengganti al Adnani yang tewas pada Agustus 2016 kepada pengikut setia Al Baghdadi di berbagai negara bahwa untuk beramaliyah bisa dilaksanakan di negaranya sendiri apabila tidak bisa berangkat ke Syria. Akibat perintah ini sel-sel teroris yang tidur kembali bangkit. Pengikut tokoh-tokoh penting teroris Malaysia yang telah meninggal tahun 2015 seperti; Machmoed Achmad seorang dosen kajian Islam Universitas Malaka, Much Jaraimee Awang alias Abu Nur, Mohamad Najib bin Husin, dan Abu Anas al Muhajir kembali merapatkan barisan menyusun kekuatan.
Akibat geliat baru ini, tidak tanggung-tanggung pada bulan Juni 2016 beredar luas di youtube seorang Warga negara Malaysia bernama Mohamad Patiudin dan seorang Warga Negara Indonesia Mohamad Karim Yusuf Faiz bersumpah setia ( bai’at) kepada Isnilon Tatoni Hapillon pemimpin Abu Sayyaf Group. Hal ini tentu sangat menguntungkan Abu Sayyaf mengingat Malaysia sudah bertahun-tahun menjadi sumber pendanaan dan personel Abu sayyaf. Malaysia secara spesifik mempunyai hubungan dengan Abu Sayyaf Basilan dan Semenanjung Malaysia yang personelnya berpendidikan lebih tinggi. Indikator yang menunjukan bahwa di Malaysiapun ISIS menguat adalah dengan lahirnya sarana Media ISIS-surat khabar Al-fatin pada tanggal 20 Juni 2016. Ide pendirian koran tersebut adalah untuk menampung Mujahidin Serumpun Melayu ( Indonesia, Malaysia, Brunei Darusalam dan Singapura). Edisi perdana surat khabar berisi tentang jihad sebagaii tema ramadhan yang berisi pesan-pesan dari para ideolog Mesir. Sedangkan isi yang umum adalah tentang perkembangan Isis di Iraq dan Syria. Bagi Malaysia hal terkait dengan semua pergerakan kelompok teroris pro ISIS itu merupakan ancaman nyata. Pada bulan Juni 2016 terjadi pelemparan granat Barrage di Puchong yang melukai delapan orang. Sejak 2013 Malaysia telah menangkap 230 tersangka ISIS, 200 di antaranya berkewarganegaraan Malaysia, 90 orang berangkat ke Suriah, 21 tewas dan 7 orang tercatat sebagai pelaku bom bunuh diri.
Keunggulan Indonesia di Mata Negara-negara
Dengan membandingkan aktifitas dan potensi terorisme di berbagai negara tersebut, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana masyarakat dunia melihat keunggulangan penanggulangan terorisme Indonesia. Sebelum berbicara keunggulan tersebut, penting kiranya untuk memberikan gambaran historis, ideologis dan kondisi sosial-politik yang melingkupi dinamika terorisme di Indonesia.
Pertama, jika jujur diakui Indonesia adalah negara ASEAN yang paling menderita akibat serangan terorisme. secara historis, gerakan NII, DI, TII mempunyai basis Idiologi sama untuk mendirikan negara teologis. Gerakan ideologis ini pada perkembangannya telah memunculkan metamorfosa gerakan yang menyulut terorisme di Indonesia.
Kedua; Indonesia dalam menanggulangi terorisme sudah kenyang pengalaman dengan telah menggunakan berbagai pendekatan, mulai pendekatan militer pada orde lama, pendekatan intelijen pada orde baru dan sekarang pendekatan hukum. Ribuan tersangka sudah tertangkap, namun terorisme zaman Orde Lama dan Orde Baru bisa terungkap pada 8 tahun terakhir.
Ketiga; regulasi dalam rangka penegakan hukum dan pembinaan senantiasa mengalami ketertinggalan. Orde Lama menuntut lahirnya UU No 11 PNPS Tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversif. Orde Baru menggunakan UU Nomor 11 PNPS Tahun 1963. Berbagai UU tersebut tidak mampu menyentuh root causes dan tidak pernah menyelesaikan tuntas persoalan terorisme.
Keempat; tuntutan reformasi menghendaki pemisahan alat pertahanan dan penegakan hukum. Akibat pemisahan TNI dan Polri (Tap MPR Nomor 6 dan Nomor 7 Tahun 2000) pada awalnya penanganan teror baik bom Bali, Marriot, dan Kedubes Australia, Indonesia tidak mempunyai pengalaman yang cukup handal dan basis regulasi yang relevan. Karena itulah, lahirlah UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak pidana terorisme. UU ini telah sekian lama menjadi panduan hukum yang melandasi penanganan terorisme hingga saat ini. Namun, secara jujur diakui UU ini ternyata tidak mampu menjangkau aktifitas dan perencanaan serta returnees ISIS. Atas dasar itulah, ada desakan untuk membuat regulasi baru yang lebih komprehensif yang dapat menjangkau pra kondisi dan pasca kejadian terorisme.
Apabila melihat background singkat tersebut, sunggu terorisme dan penanganannya di Indonesia sangat dinamis. Karena itu ada beberapa indikator yang menyebabkan Indonesia di mata dunia berhasil dalam penanganan terorisme.
Pertama, indikator kualitatif menunjukan bahwa sejak merdeka Indonesia mengalami kemajuan pesat dalam menangani kejahatan terorisme. Hal ini bisa dilihat bahwa pada 2016 sampai dengan 2017 di Indonesia tidak ada satupun bom yang menggunakan bahan high explosive. Hal ini berbeda dengan bom rakita generasi JI, DI, TII yang dibuat dengan high explosive. JI pada bom Bali, misalnya, menggunakan dengan bahan peledak amunium nitratr 1200 kg, sementara bom 2016 dan 2017 dengan bahan sederhana black powder.
Dari aspek ideologis, pelaku juga menunjukan keragu-raguan untuk bunuh diri yang sangat berbeda dengan generasi JI dlu seperti Heri Golun, Asmarlatin Sani, Salik Firdaus. Sementara dari aspek perencanaan dan kualitas aksi, saat Orde Lama ada teror tragis berupa penembukan Istana Negara dengan pesawat Mig 17. Berlanjut pada Orde Baru ada pembajakan Woyla, ada penyerangan masif pada 4 kedutaan dalam satu rangkaian teror, terjadi plemparan Presiden dengan granat dan lain-lain.
Kedua, indikator kuantitatif menunjukkan bahwa jumlah kasus pengeboman tahun 2016 dan 2017 hanya 6 kasus. Angka ini sangat kecil bila dibandingkan terungkapnya jaringan JI pasca reformasi, Orde Baru dan Orde Lama dengan ribuan kasus.
Ketiga, indikator kemampuan negara dalam program deradikalisasi. Data berbicara bahwa hanya sebagian kecil teroris yang telah menjalani hukuman kembali masuk pada jaringan. Mereka yang masuk kembali pada jaringan lamanya rata-rata akibat kekecewaan, penolakanstigma negatif masyarakat dan problem ekonomi. Program hard aproach berupa penangkapan dilakukan secara masif berjalan faralel dengan program soft aproach derad.rehab. reedukasi. prebentif justice dilakukanndengan apik dan rapi.
Keempat, pendekatan ideologis, kultur, dan sosiologis dilakukan. Hal ini dilakukan dengan cara menikahkan teroris di dalam sel, mengunjungi ritin mantan napi teroris dalam bingkai family visit, membangun masjid dan pesantren bagi tokoh prominent yang dijadikan guru dengan merekrut anak- anak mantan teroris. Pendekatan unik tersebut mungkin hanya dilakukan di Indonesia dan hanya Indonesia yang tokoh-tokoh inti dalam berbagai generasi teroris bisa berdialog dan dekat dengan aparat yang dulu dianggapnya”thogut“. Semoga bermanfaat!