Antara Musik, Radikalisme, dan Cinta Tanah Air Versi Kikan Eks Cokelat

Bandung – Ada yang berbeda dengan penampilan vokalis Kikan, eks Cokelat. Tampil di Pelatihan Duta Damai Dunia Maya 2017 di Bandung, Rabu (12/4/2017), Kikan tidak hanya menyuarakan lagu-lagu bertemakan nasionalisme, ia juga memberikan pandangan serta cerita hidupnya mulai dari musik, arti radikalisme, dan juga cinta tanah air. Tidak hanya sekadar memberi paparan, Kikan mampu menghadirkan emosi para calon duta damai.

Kikan mengawali penampilannya dengan membawakan lagu Satu Nusa Satu Bangsa yang dibawakan dengan penuh penghayatan dan perasaan. Setelah kumandang syahdu lagu itu, Kikan pun turun dan menyatu dengan para duta damai.

“Malam ini kita berkumpul di ruangan ini. Sadarkah kalian bahwa kalian dalah agen perjuangan untuk Indonesia yang lebih baik di masa mendatang,” kata Kikan.

Ia kemudian bercerita tentang perjalanan hidup dan karirnya. Ia sejak kecil mengaku hidup berpindah-pindah mengikuti orang tuanya dan sejak SMP bersekolah di sekolah katolik. Dari situlah ia mengaku banyak belajar tentang apa arti minoritas, kebangsaan dan intoleransi.

“Saya pernah hidup sebagai minoritas saat sekolah katolik. Tapi dari situ timbul kesadaran distu saya belajar bahwa toleransi itu penting,” tukasnya.

Menurutnya, intoleransi adalah bibit radikalisme sehingga penguatan nilai-nilai toleransi itu harus dilakukan sejak dini dan terus menerus. “Bicara radikalisme, Bibit awalnya apa? Bibit radikalisme tumbuh dari intoleransi yang tubuh sejak kita kecil karena tidak biasa dengan perbedaan dan tidak suka membuka diri. Jika sejak kecil tidak biasa dengan perbedaan, disitu akan mudah terpengaruh radikalisme.”

Beruntung ia mempunyai orang tua yang mendidiknya dengan rasa cinta air yang dalam. Ia ingat orang tuanya selalu menanamkan nilai-nilai luhur, salah satunya “Kalau kamu menangis mendengar Al Quran, kamu akan menangis mendengar Indonesia Raya.”

Kikan mengaku terus terasah rasa nasionalismenya saat berkeliling Nusantara bersama Cokelat. Ia mengaku pengalaman bersama Cokelat dan dengan apa yang terjadi di beberapa daerah makin menguatkan pengertian tentang bentuk kecintaan terhadap Indonesia.

Pada 2005, sebagai pentolan grup Cokelat, Kikan diundang konser di Jayapura, Papua. Karena belum pernah ke Jayapura, seluruh kru Cokelat antusias menyambut penampilan mereka di bumi Cenderawasih. Tapi tanpa mereka sadari, konser itu bertepatan dengan HUT organisasi terlarang di Papua.

Meski sempat khawatir, Cokelat tetap menggung, apalagi GOR telah penuh sejak penonton. Saat akan naik panggung, kembali rasa khawatir menyelimuti dia, setelah diberitahu ada ancaman kenyataan. Namun Cokelat tetap naik panggung.

“Setelah lagu keempat saya melihat terjadi kericuhan. Ada 3-4 anak muda Papua yang ditahan petugas. Sesaat kemudian saya membawakan lagu bendera, tiba-tiba mereka naik panggung dan mengibarkan bendera Merah Putih. Dari situ saya sadar bahwa inilah nasionalisme Indonesia,” ungkap Kikan.

Setelah acara itu, Kikan kembali bertemu dengan pemuda tersebut. Mereka dengan tegas menyatakan bahwa mereka adalah anak muda asli Papua tapi sampai mati tetap Pemuda Indonesia. Begitu juga saat tur ke Beijing, ia juga bertemu orang-orang Indonesia yang ingin pulang, setelah lama terusir di sana.

Cerita lainnya juga didapat saat berada di Sibolga, Sumatera Utara. Ia bertemu seorang nelayan yang mempunyai jiwa nasionalisme tinggi sebagai orang Indonesia.

Dari cerita-cerita itu, Kikan mengajak para duta damai untuk memperluas wawasan berpikir dan selalu menjadi menjadi anak muda yang bisa mengingatkan diri sendiri dan lingkungannya tentang pentingnya nasionalisme.

“Saya pribadi selalu percaya bahwa anak muda ujung tombak bangsa ini mau kemana. Mungkin hari ini kita baru menyemai, tapi paling tidak kalian telah melakukan sesuatu. Bibit Inilah yang 5-6 tahun mendatang akan dilihat hasilnya. Sekali lagi, kita disini punya tugas sama dan saya bangga jadi bagian dari kalian,” pungkas Kikan.