Jakarta – Ansyaad Mbai, mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), mensinyalir bahwa banya elit politik di Indonesia yang memanfaatkan kelompok radikal untuk mendulang suara. Dia menilai bahwa fenomena itu merupakan ancaman nyata dari penyebaran radikalisme di Tanah Air.
“Elit politik mendukung radikalisme bukanlah hal yang baru. Sebenarnya para elit politik itu bukan mendukung, tapi menunggangi untuk meraih suara. Anda lihat mereka diundang masuk ke Senayan (Gedung DPR/MPR) dan deklarasi mau menjatuhkan Presiden,” kata Ansyaad Mbai ketika berbicara dalam diskusi di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan.
Dikatakan, selain soal elite politik mendukung gerakan radikalisme, ancaman nyata lainnya yang juga dihadapi Indonesia adalah kembalinya ‘foreign terorist fighters’ (FTF) dari Suriah lantaran di sana mereka terjepit oleh serangan brutal Amerika Serikat (AS).
Ada pula ancaman lain, yakni melalui penguasaan media sosial oleh kelompok radikal, berlanjutnya perekrutan dan pelatihan militer hingga penyebaran paham radikal di lingkungan pendidikan. Tujuan mereka hanya satu, yakni mendirikan khilafah di Indonesia.
“Gerakan-gerakan mendirikan khilafah ini seperti enggak disadari juga sama politikus. Dikiranya mereka ini pasukan nasi bungkus. Padahal bukan. Hal-hal inilah yang juga harus kita semua waspadai,” ujar Ansyaad.
Di tengah ancaman nyata itu, pemerintah beserta aparat hukum dan ‘civil society’ dinilai belum maksimal bekerja. Pemerintah masih gamang menghadapi kelompok radikal, ormas berazas moderat juga belum kompak menyuarakan persatuan. Polri pun belum tegas dalam menghadapi aksi-aksi mereka.
“Kalau polisi, saya bisa mengerti. Polisi itu lihat kiri kanan dulu sebelum bertindak. Kalau saya pentungin ini, kiai mana yang kejar saya, politikus mana yang kejar saya. Makanya kalau kiai-kiai ikut dukung, polisi akan ikut,” pungkasnya.