Jakarta – Teror bom bunuh diri Surabaya membuat geger masyarakat di negeri ini. Tak sekadar bom bunuh diri. Aksi bom yang meledakkan tiga gereja dan pintu penjagaan Mapolrestabes Surabaya itu juga melibatkan anak-anak dan perempuan.
Aksi bom bunuh diri Surabaya dilakukan pelaku teror dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD – kelompok paham radikal yang berafiliasi ke ISIS. Sebelumnya, pada 2017, aksi bom teror yang dilakukan JAD juga terjadi di Kampung Melayu. Ledakan bom yang menewaskan tiga polisi itu dilakukan jaringan sel Mudiriyah JAD Bandung Raya.
Aksi teror ini sudah diklaim ISIS sebagai ulahnya melalui kantor berita resmi mereka, Amaq News Agency dan disitat AFP. Klaim ini juga diperkuat informasi dari kelompok intelijen SITE yang bermarkas di Bethesda, Maryland, AS.
Mengutip pemberitaan bbc.com, kelompok paham radikal ini punya tujuan perjuangan mendirikan sebuah negara khilafah. Sebuah negara dengan pola pemerintahan yang dipegang seorang pemimpin keagamaan dan politik berdasarkan syariat hukum Islam.
Pun begitu, cara ISIS beserta kelompok pendukungnya untuk mencapai tujuan tersebut terlalu brutal. Selain melakukan pembunuhan missal dan penculikan kelompok keagamaan dan suku, mereka juga melakukan hukum pemenggalan terhadap tentara yang menjadi tawanan mereka. Pola brutal ini sontak membuat marah dunia.
Saat mendeklarasikan pendiriannya di Masjid Nuri al-Kabir, Irak, tahun 2014, pergerakan ISIS memang hanya sebatas Irak dan Suriah. Namun begitu, tekad kuat sudah mereka canangkan untuk menerobos perbatasan Yordania dan Lebanon dan memerdekakan Palestina.
Tekad yang dicanangkan ini memang tak dipungkiri membuat ISIS dapat limpahan dukungan dari umat Islam di dunia. Dukungan juga dinyatakan dengan sumpah setia kepada ISIS – 1, Ibrahim Awad Ibrahim Ali al-Badri al-Samarrai alias Abu Bakr al-Baghdadi.
Tapi nanti dulu, jika ISIS memang bertekad memerdekaan Palestina, kenapa sampai sekarang ISIS tak melakukan serangan ke Israel? Pertanyaan ini memang sudah dijawab ISIS lewat the Times of Israel. ISIS bahkan juga menyebut persoalan Palestina tidak semestinya mendapatkan perlakuan istimewa.
Di bulan Maret 2016, surat kabar mingguan, Al-Naba memuat sebuah artikel berjudul “Beit Al-Maqdis” dan “First and Foremost an Issue of Shari’a Law”. Artikel ini menjelaskan bahwa ISIS kurang tertarik melakukan serangan terhadap Israel karena alasan jihad di Palestina sama dengan jihad di tempat lain. Ditegaskan juga dalam artikel tersebut bahwa pemerintah Arab Saudi adalah pemerintahan yang mengacu pada tirani.
Oleh karenanya, dua kota besar yang ada di dalamnya, Mekah dan Madinah harus diselamatkan dari keluarga kerajaan Saudi. Selain itu, ada pula pernyataan radikal yang dikutip dalam artikel tersebut. “Untuk Negara Islam, ‘Jihad di Palestina sama dengan jihad di tempat lain.’”
Artikel itu juga menyerukan para jihadis agar melakukan perlawanan terhadap orang-orang kafir yang terdekat dengan mereka. Artinya, untuk memerangi orang Yahudi harus diserahkan ke pejuang Muslim di Israel/Palestina. Sedangkan Muslim Suriah harus berhadapan dengan Bashar Assad dan Muslim Mesir harus menghadapi Abdel-Fattah el-Sissi.
ISIS secara tegas juga menyebut mereka lebih memprioritaskan perang melawan orang kafir di dalam. Pengertian orang kafir di sini adalah penguasa dan pemerintah Muslim yang berseberangan dengan kepentingan mereka.
Selain itu, ISIS juga menjelaskan bahwa perang melawan Israel adalah penyimpangan. Pendapat ini didasari pemahaman jihad bertujuan untuk menerapkan hukum syariah.
“Karena seluruh dunia kecuali untuk daerah ISIS dikendalikan dan diperintah oleh orang-orang kafir,” tegas artikel tersebut.
Namun anehnya, meski tegas menyebut hal demikian, dalam artikel tersebut ISIS tetap mengatakan bahwa seluruh umat Islam wajib mengirimkan bantuan ke Palestina. Jika orang-orang tersebut tidak bisa datang ke Timur Tengah atau tidak punya uang untuk berperang di Palestina, ada opsi lain yang ditawarkan ISIS.
Apa itu? Adalah menyerang kaum Yahudi dan sekutunya di manapun mereka berada. Menyerang dengan segala cara, termasuk tindakan brutal dan radikal untuk membunuh, menghancurkan, dan menguras harta mereka.
Selain sejumlah alasan ISIS yang termuat di artikel tersebut, masih ada beberapa alasan lainnya yang terungkap dari sejumlah jurnalis Barat yang pernah terjun ke wilayah perang ISIS dan berhasil selamat. Menurut mereka, Israel adalah satu-satunya negara yang ditakuti ISIS karena dianggap punya militer yang kuat. Terdengar aneh, sebenarnya.
Secara fakta, Israel hingga kini memang menerapkan kebijakan non-intervensi terkait konflik pelik di Suriah. Cuma sesekali saja Israel melakukan serangan sebagai balasan jika terjadi serangan ke wilayahnya.
Dan ini, lebih terdengar aneh lagi, karena saking takutnya dengan Israel, ISIS sampai pernah minta maaf akibat tak sengaja menyerang tentara Israel. Permintaan maaf ini diungkap oleh mantan Menteri Pertahanan Israel, Moshe Ya’alon dan dikutip The Independent, belum lama ini. Ya’alon adalah menteri pertahanan Israel sejak 2013 hingga mengundurkan diri pada Mei 2016.
Ya’alon mengatakan, insiden dimaksud terjadi di dataran tinggi Golan terlibat baku tembak dengan tentara Israel pada November 2017. “Terjadi sebuah peristiwa baku tembak singkat ketika Daesh (ISIS) untuk kali pertama menembaki patroli militer di wilayah Israel kemudian meminta maaf,” ungkap Ya’alon ketika berbicara di sebuah acara di Kota Alufa, wilayah utara Israel.
Cuma itu saja penjelasan Ya’alon ke muka umum tentang ISIS dan permintaan maafnya kepada Israel. Selebihnya tak ada pernyataan lagi, termasuk dari militer Israel
Namun harian The Times of Israel sedikit mengungkapkan perihal yang dimaksud Ya’alon itu. Harian ini melaporkan Israel melakukan serangan balasan ke kelompok bersenjata Suriah pendukung ISIS pimpinan Khalid ibn al-Walid. Serangan yang dilakukan lewat udara dan tank itu menewaskan empat orang anggota kelompok Khalid ibn al-Walid.
Khalid ibn al-Walid sendiri adalah sosok jihadis pendukung ISIS sejak Mei 2016. Lewat strategi serangan mendadak, kelompoknya sempat menduduki sejumlah kota dan desa di perbatasan Israel dan Suriah pada Februari 2018.