Jakarta – Wabah virus Corona atau COVID-19 harus dilawan dengan memanfaatkan setiap resources (sumber daya) yang dimiliki bangsa Indonesia. Juga harus mengandalkan sains (ilmu pengetahuan) sebagai ujung tombak untuk memberantas Corona. Itu pun harus dilakukan secara bersama tanpa egosentris dari pihak tertentu.
“Kita harus menang dengan mengandalkan setiap resources yang kita miliki, dan mengandalkan sains sebagai ujung tombak,” ujar Pengamat Komunikasi Politik Hendri Satrio di Jakarta, Jumat (10/4/2020).
Hendri mengungkapkan bahwa melawan Corona bukan seperti melawan manusia atau kelompok, bukan juga entitas negara. Tapi lawan yang dihadapi adalah virus atau penyakit sehingga pendekatan dan strateginya khusus. Selain itu, Indonesia harus belajar dari keberhasilkan negara lain, dan kesalahan dari negara lain.
Menurutnya, pemerintah, militer, polisi harus percaya dan mendengarkan dan melibatkan dokter, epidemiolog, ahli-ahli kesehatan, ahli komunikasi, kesejahteraan masyarakat, dan ekonom dalam menentukan strategi yang tepat.
Setiap langkah harus dikuantifikasi dalam kacamata medis, dalam kacamata sosiologis dan dalam kacamata ekonomi. Apabila memang diperlukan mobilisasi dan pendisiplinan, maka mobilisasi dan pendisiplinan tersebut harus merujuk pada koridor keterhitungan berdasarkan sains itu.
“Keabaian terhadap sains akan menjerembabkan kita pada fatalisme,” tukasnya.
Apabila belajar dari pengalaman beberapa negara lain, lanjut akademisi dari Universitas Paramadina ini mengatakan, karantina wilayah terbukti berhasil menekan jumlah korban. Seperti Italia, di mana sebelumnya banyak pihak meragukan, ternyata karantina wilayah yang mereka lakukan cukup berhasil menekan jumlah korban. Walaupun efeknya delay 2-3 minggu menyesuaikan masa inkubasi.
“Kita bisa lihat grafik eksponensial peningkatan jumlah korban di Italia menunjukkan perbaikan, ada harapan mereka akan berhasil mengontrol penyebaran dan pertambahan jumlah korban COVID-19,” jelasnya.
Terkait penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia, Hendri menilai, cara itu efektif bangsa Indonesia belajar dari apa yang dilakukan oleh Cina dan Italia. Termasuk memertimbangkan kesalahan yang mereka lakukan, serta menghitung sumberdaya. Misalnya, pada awalnya warga Italia banyak yang tidak mematuhi peraturan karantina kewilayahan yang mereka berlakukan terutama anak muda, hal tersebut yang mempercepat persebaran COVID-19, dan tumbangnya Lansia. Anak-anak muda menjadi carrier, sedangkan mereka yang ada di rentang usia rentan serta pemilik penyakit bawaan menjadi korban.
“Ketidakpatuhan di Italia misalnya disebabkan tidak sepenuhnya publik terinformasi dengan baik, terkait ancaman sebenarnya dari COVID-19,” tutur founder lembaga survei KedaiKOPI ini.
Pada konteks tersebut, kata Hendri, PSBB di Jakarta dan di beberapa wilayah lain di Indonesia harus diterapkan dengan disiplin, agar efeknya semakin cepat kita rasakan. Selain juga dengan kampanye kesehatan yang masif. Kampanye ini mestinya bisa menggunakan sendi pemerintahan, misalnya dari kepala daerah turun ke kecamatan, kelurahan lalu RW. Pak RW yang kemudian harus dapat menghimbau dan menjamin warganya untuk patuh terhadap anjuran pemerintah. Hal tersebut hanya bisa dilakukan bila koordinasi di dalam pemerintahan bekerja dengan baik.
“Kita juga harus belajar dari India, di mana pemerintahnya tidak cukup matang dalam mempersiapkan diri khususnya terkait distribusi pangan. Pemerintah daerah dan pusat harus bisa berkordinasi dengan baik, agar masalah ini dapat teratasi,” ungkapnya.
Namun Hendri menilai, PSBB tidak dapat diterapkan sendiri dan menjadi bagian dari strategi besar pemerintah dalam penanganan COVID-19. Tapi peningkatan kuantitas tes serta kapasitasnya laboraturiumnya juga harus ditingkatkan, juga fasilitas kesehatan lainnya, termasuk perlindungan terhadap dokter dan petugas medis.
Selain itu, lanjut Hendri, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus berkordinasi dengan maksimal. Terutama menimbang pada berkali-kali terjadi miskomumikasi dan miskoordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi atau daerah. Pasalnya, ini akan berdampak pada kepercayaan (trust) masyarakat.
“Kita tidak ingin ada kepanikan di masyarakat, panic buying misalnya. Setiap tindakan pemerintah akan berimplikasi kepada keyakinan, pada trust masyarakat terhadap pemerintah. Trust juga yang akan membuat masyarakat patuh terhadap setiap strategi yang dirumuskan oleh pemerintah,” paparnya.
Dalam kacamatanya, masyarakat sudah cukup solid dalam mendukung program pemerintah. Hal itu bisa dilihat dari berbagai aktivitas masyarakat dalam memerangi Corona yang muncul dari akar rumput. Seperti banyak masyarakat yang menyumbang pengadaan ADP untuk rumah sakit, bantuan makanan bagi tenaga kesehatan, pembagian masker dan seterusnya. Namun itu tidak bisa sepenuhnya mengandalkan masyarakat karena resources terbesar ada di negara, maka pemerintah harus sigap bertindak, dan tidak bisa hanya mengandalkan solidaritas dan kesadaran akar rumput.
“Kalau kita lihat soal kepatuhan warga terkait himbauan pemerintah untuk “tetap di rumah” atau “work from home”, ini berkaitan dengan komunikasi publik pemerintah, serta trust warga pada pemerintah. Ini yang menjadi PR utama. Selain juga memang sebagian besar warga ada yang tidak bisa sepenuhnya bekerja dari rumah, karena mereka adalah pekerja informal atau bekerja di sektor yang vital. Pemerintah harus memikirkan mitigasi ekonomi untuk mereka,” pungkas Hendri Satrio.