(sumber gambar: cnnindonesia.com)

Ancaman Nyata Terorisme adalah Asia Tenggara

Beberapa hari yang lalu, Penulis mengikuti Konferensi Sub Regional Meeting on Foreign Terrorist Fighters and Cross Border Terrorism (SRM FTF-CBT) di Manado yang diikuti oleh enam negara untuk membahas masalah ancaman terorisme terutama ISIS di Asia Tenggara, Sabtu 28 Juli 2017.  Tujuan Konferensi tersebut mencari pandangan bersama untuk melawan terorisme di kawasan Asia Tenggara. Enam negara peserta adalah Selandia Baru (New Zealand), Australia, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, dan Indonesia.

Dalam kesempatan konferensi tersebut, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, MH, mengajak negara-negara kawasan Asia Tenggara untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman teroris asing pasca operasi militer Filipina di Marawi terhadap kelompok bersenjata yang diduga berasal dari jaringan kelompok terorisme Islamic State Irag and Suriah (ISIS).

Saya ingin menegaskan bahwa Ancaman Nyata terkini terorisme itu bersumber dari Asia Tenggara. Ada beberapa analisa yang penulis ingin bagi hasil sharing dengan Philippine National Police (PNP). Menurut analisa mereka situasi di Filipina akan memiliki pengaruh besar terhadap negara Indonesia. Berikut beberapa analisa yang mereka sampaikan dalam menggambarkan situasi Filipina saat ini.

Pergolakan di filipina selatan sudah lama terjadi dengan model gerakan separatis dan Radikalis seperti MILF (Moro Islamic Liberation Front), MIM (Mindanao Independent Movement) yang kemudian menjadi MNLP serta perlawanan Komunis CPP yang sekarang juga mulai melakukan perlawanan dengan nama NPA (New People Army ) yang minggu lalu menembak 4 pengawal Duterte.

MILF sendiri dipimpin oleh Ust Slamet Hasyim yang pernah membangun camp hudaibiyah, assidiq dan camp Abubakar bersama Amir Jamaah Islamiyah (JI). Kelompok ini pula yang mengundang Joko Pitono, Umar Patek, Baihaki, Muhamad Yusuf Fais (saat ini dikenal Abu walid aktif di jajaran Katibah Nusantara Syria). kelompok ini berafiliasi dengan Al Qaedah melalui Jamaah Islamiyah.

Pada awalnya MILF masih melakukan pergerakan yang lebih bersifat domestic/ homegrown. Mereka mulai aktif melakukan perlawanan sejak tokoh sentral mereka ust slamet Hasyim tewas diserbu dengan air strike pada tahun 2003. Slamet Hasyim selanjutnya diganti oleh Ust Murod Ibrahim. Penggantinya ini emmang tidak memiliki kharisma sekuat pendahulunya (less leadership). Perpecahan pun terjadi dalam tubuh MILF yang terbagi dalam beberapa faksi seperti faksi Ust Aleemaziz, Ust Umbara Kato dan faksi Ust Slamet hasyim sendiri.

Pada tahun 2008 terjadi perundingan antara pemerintah dan MILF yang selanjutnya diperkuat lagi dengan perjanjian terakhir pada 7 okt 2012. Hasil perundingan tersebut pemerintah memberikan otonomi khusus pada MILF meliputi provinsi Mangindanao dan Lanao Del Zur (ibu kotanya Marawi).

Sejatinya MNLP sendiri pada tahun 1979 telah melakukan agreement di Tripoli di hadapan Moamar Kadafi yang diinisiasi oleh Nurmisuari (sampai sekarang). MNLP pecah menjadi beberapa faksi yang menjadi BIFF (Bangsa Moro Freedom Fighter) dan Kelompok Moute. Kota Marawi sendiri dikuasai oleh oleh Moute yang bukan bagian MILF. Sementara pemerintah telah memberlakukan darurat militer yang sesuai dengan Konvensi PBB bahwa dalam situasi darurat militer tidak boleh satupun sipil bersenjata. Artinya termasuk MILF yang dalam agreement perdamamaian dengan pemerintah.

Untuk menyerbu marawi harus melewati kekuasaan MILF yang tentu sangat dihindari pemerintah.   Pemerintah Filipina sendiri telah menggelar semacam sayembara dengan hadiah 5 juta US bagi setiap prajurit yang berhasil membunuh Hapilon dan moute. Akibatnya militer berlomba mendapatkan hadiah sehingga kehilangan taktis.

Pada sisi lain, Detasemen Khusus Filipina, Shanglahi Task Force telah dibubarkan pada tahun 2008 karena perebutan kewenangan antara polisi dan militer. Padahal harus diakui densus tersebut telah sukses memenangkan JI lalu. Dalam pengalaman mereka, apabila militer darat kalah, mereka akan menyerbu lewat udara. Akibatnya friendly fire sering salah lirik. Sudah ada 30 pasukan khusus tertembak karena salah lirik air strike. Inilah analisa dari teman PNP terkait situasi Filipina saat ini.

Lalu, pertanyaannya kenapa Filipina patut diperhitungkan dan apa hubungannya dengan Indonesia. Hubungan Indonesia dan Filipina dalam jaringan terorisme sangat dekat, termasuk dalam kejadian terkini di Marawi. Tercatat, 35 Warga Negara Indonesia memiliki hubungan jaringan dengan FTF di Filipina. Sebanyak 14 orang masih tinggal di sana, 6 telah dipulangkan ke Indonesia, 6 orang diduga tewas di Filipina, dan 9 orang telah dideportasi oleh pemerintah Filipina.

Hubungan jaringan terorisme Indonesia dengan Filipina juga sangat kuat terutama dari Kelompok ISIS Indonesia dengan Pimpinan Oman Abdurrahman. Suryadi Mas’ud dari kelompok Oman pada tahun 2015 pergi ke Filipina sebanyak tiga kali. Pada juni 2016, Suryadi dengan lima temannya kembali ke Filipina dengan mengikuti pelatihan militer selama 1 bulan dan bergabung dengan Kelompok Isnilon Hapilon di Filipina Selatan. Pada Maret 2017, 6 orang telah bergabung dengan Kelompok Maute di Marawi.

Apakah dampak kedekatan jaringan tersebut? Keberangkatan Suryadi pada tahun 2015 ke Filipina dan kembali ke Indonesia dengan membawa senjata api. Senjata inilah yang digunakan dalam kasus teror di Jalan Thamrin. Tidak hanya itu berikutnya kerap terjadi rentetan teror yang dilakukan oleh kelompok JAD seperti pelatihan bom di Malang (Februari 2016), Bom Gereja Samarinda (November 2016), penyerangan polisi di Tanggerang, penyerangan pos polisi senen (Desember 2016), Bom Cicendo (Februari 2016), penyerangan polisi di Tuban (April 2017) dan Bom bunuh diri di Kampung Melayu).

Dari peta ancaman Filipina dan kedekatan jaringan terorisme Indonesia dengan kelompok terorirsme di negara tersebut patut menjadi perhatian serius. Indonesia pernah mendapatkan pengalaman buruk dari para eks kombatan Afganistan dan Filipina Selatan yang telah mengejutkan negeri dengan rangkain bom pada awal reformasi. Dalam sifat terorisme yang terhubung secara global tersebut, penguatan pengawasan perbatasan adalah sebuah keniscayaan untuk mengamputasi hubungan tersebut. Lemahnya perbatasan telah menjadi celah yang dimanfaatkan oleh jaringan teror trans nasional dengan mudah keluar masuknya barang dan orang. Jalur Filipina-Indonesia melalui Sulawesi Utara perlu mendapatkan perhatian serius untuk mengantisipasi pergerakan FTF dari dan ke Indonesia-Filipina. Tentu saja kerjasama antara kedua negara menjadi sangat penting dalam mengantisipasi perluasan kekuatan kelompok teror di Marawi tersebut.

Selain pendekatan keamanan tersebut, pendekatan lunak seperti deradikalisasi terhadap para returnees dari Filpina tentu menjadi catatan serius. Para FTF yang kembali ke Indonesia ini harus mendapatkan penanganan yang serius agar tidak menebar paham dan ideologi ke tengah masyarakat. Tidak boleh dianggap remeh hubungan erat antara jaringan terorisme Indonesia-Filipina banyak terjadi di ruang maya.  karena itulah, tidak kalah pentingnya penguatan kontra narasi dan kontra propaganda melalui dunia maya menjadi sangat krusial untuk menangkal propaganda kelompok ini dalam menyebar hasutan dan ajakan untuk bergabung ke daerah konflik.