Jakarta – Seluruh aparatur sipil negara (ASN) diminta untuk menolak politik identitas. Pasalnya politik identitas sangat berbahaya di tengah masyarakat Indonesia yang beragam
Hal itu disampaikan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (Kemenag), Prof Amien Suyitno, saat membuka Pelatihan Penggerak Penguatan Moderasi Beragama di Gedung Pusdiklat Kemenag, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten.
“Dalam pelatihan kolaboratif pertama kali antara Kemenag dengan TNI dan Polri untuk Angkatan I, II, III, dan IV ini, saya ingin menyampaikan pesan Gus Men tentang perlunya menolak politik identitas,” ujar Amien dalam keterangannya, Rabu (23/8/2023).
Menurutnya, politik identitas disebut harus ditolak, karena sangat berbahaya bagi harmoni dan kerukunan masyarakat Indonesia. Meski demikian, identitas itu tetap penting sebab setiap orang tentu memiliki identitasnya masing-masing, baik jabatan, pekerjaan, kelompok gender, maupun agama dan suku bangsa.
“Mengapa kita harus menolak politik identitas? Kalau terkait pentingnya identitas, memang iya. Lalu, apanya yang kita tolak? Yaitu politik identitas yang digunakan untuk kepentingan politik,” lanjut Suyitno.
Menurutnya, identitas yang melekat seperti suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) tentu tidak bisa ditolak. Sebab, semua itu merupakan bawaan lahir. Akan tetapi, jika hal tersebut digunakan untuk kepentingan politik, maka tidak ada perdebatan untuk menolaknya.
Ia beralasan identitas yg digunakan untuk kepentingan politik berbahaya. Apalagi, politik identitas dengan nomenklatur agama lebih berbahaya lagi. Tidak hanya itu, sudah banyak pengalaman menunjukkan hal itu bisa menjadikan disharmoni antar keluarga.
Guru Besar UIN Raden Fatah Palembang ini menambahkan, disharmoni antar keluarga masih bisa ditemui di masyarakat. Ini merupakan akibat perbedaan pilihan politik pada Pilpres 2019.
“Mereka belum move on. Ini nyata dan ini harus kita cegah,” ujar dia.
Dalam konteks ini, ia menilai diklat penggerak penguatan Moderasi Beragama menjadi sangat penting. Karena tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, maka penguatan MB harus menyasar seluruh kementerian/lembaga (K/L), termasuk TNI dan Polri.
“Itulah mengapa kita perlu secara bersama-sama duduk bareng terkait dengan penguatan Moderasi Beragama,” katanya dihadapan 120 peserta pelatihan terdiri dari perwakilan Kemenag, TNI dan Polri.
Amien Suyitno mengatakan, internalisasi moderasi tidak cukup hanya melalui pendekatan agama. Sebab, ekstremisme itu tidak berhadapan hanya dengan persoalan teologi semata. Di dalamnya, ada persoalan terkait agama, sosiologi, bahkan, mungkin bisa terintegrasi beberapa persoalan, seperti ketimpangan.
Oleh karena itu, pendekatannya tidak bisa tunggal. Amien Suyitno berharap para peserta serius dan disiplin dalam mengikuti pelatihan ini. Pelatihan Penggerak Penguatan Moderasi Beragama diikuti 120 peserta, terdiri atas 30 unsur TNI, 30 unsur Polri, dan 60 orang dari unsur Kemenag.
Narasumber yang juga dihadirkan dalam kegiatan adalah Pokja Moderasi Beragama Alissa Wahid, serta Menag 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin.