photo by: abdullahosman.com

Anak, Radikalisasi, dan Islam yang Hanifan Samhah

Suatu hari paska serangan teroris di jalan Thamrin Jakarta, anak saya yang paling kecil, yang berumur 10 tahun, bertanya pada saya; “Pa, kenapa sih ada orang bunuh diri? Kan kata ustadz kita (yang dimaksud adalah guru ngaji yang seminggu 2 kali datang ke rumahku ), orang bunuh diri itu pasti masuk neraka? Kok mau-maunya orang itu masuk neraka..”

Sambil saya elus-elus kepalanya, saya balik bertanya; “Siapa sih yang bunuh diri itu?” tanya saya penuh selidik.  Dan spontan ia jawab, “Itu pa, yang bunuh diri pakai bom petasan di Jl. Thamrin itu,” katanya sambil menaikàn jàrinya mengekspresikan ledakan petasan “habis itu dia nembàk polisi sama bule  lagi”.

“Sayang, yang cerita ke kamu itu siapa?” timpalku masih penasaran. Akhirnya saya tahu bahwa anak saya yang sekarang duduk di bangku kelas 4 SD itu bersama kakaknya turut menyimak sebuah tayangan serangan terorisme di salah satu TV swasta nasional beberapa waktu yang lalu. Persis setelah kasus teror bom thamrin terjadi

Miris memang kita menyaksikan betapa seorang remaja yang bernama Sunakim alias Afif, masih sangat remaja, dan sebetulnya masih punya masa depan yang cukup panjang, harus mati dengan meledakkan dirinya sendiri menggunakan bom. Hilang semua harapan orang tuanya.  Kita tidak juga paham ada apa dengan isi kepalanya. Apa yang menjadi tujuanya dengan niat membunuh orang sebanyak itu,  dan apa keuntungannya buat seorang Sunakim.

Orang awam yang tidak mengerti seluk beluk terorisme pasti menganggap kelompok ini adalah kelompok psikopat, kelompok asosial yang memiliki gangguan kejiwaan. Anak kecil akan lebih tidak mengerti lagi. Begitu mereka melihat tayangan seperti itu, maka mungkin anak kecil akan bilang mereka itu adalah orang gila. Padahal jawaban semua itu adalah “bukan“, mereka bukanlah orang gila.

Para teroris bukanlah orang yang terganggu jiwanya. Mereka adalah orang-orang normal, bahkan sangat normal. Kalau kita yang sudah banyak berinteraksi dengan mantan teroris , baik yang sudah lepas, sudah selesai menjalani hukuman, atau bahkan yang masih di dalam penjara dengan berbagai variasi lamanya hukuman; mulai dari yang dipenjara seumur hidup, 20 tahun atau yang teringan 8 tahun kurungan , pasti sepakat bahwa mereka adalah orang orang yang normal, yang sama seperti kita. Bukan psikopat ataupun Paranoid.

Coba kita ingat, di antara para teroris itu bahkan ada yang termasuk orang orang pintar, sebut saja DR. Azhari, DR. Syamsul Bahri, bahkan Noordin M Top dll. Terus pertanyaannya, mengapa mereka melakukan kegiatan teror terhadap masyarakat? mengapa mereka begitu bernafsu membunuh? Dengan cara cara destruktif, membunuh dan juga bunuh diri?

Terorisme adalah suatu kenyataan sosial. Terorisme adalah realita kehidupan yang real time ada di tengah tengah kita. Dia tumbuh berkembang dalam lingkungan kita. Bingkai besarnya adalah Idiologisme dan keinginan merubah sistem ketatanegaraan secara radikal. Sistem yang ada dianggap tidak relevan dengan idiologi yang mereka yakini, yakni ideologi yang mereka anggap paling Ideal. Karena secara mendasar yang ingin dirubah adalah sendi-sendi dalam bernegara, maka tentu terorisme itu dilakukan oleh sebuah organisasi. Ia punya pemimpin, punya anggota, ada mekanisme kerja dan ada herarkhi, ada pembedaan yang ketat antara atasan dan bawahan yang sangat tegas, serta ada disiplin dan sanksi organisasi untuk penyimpangan dari sistem yang mereka anut.

Karena teroris bergerak dalam bentuk organisasi dengan sistem yang keberdaannya ditentang oleh pemerintahan yang sah, maka bentuk dan modelnya organisasi teroris dipastikan sangat tertutup. Semuga kegiatan operasionalnya dilakukan dengan cara clandestein (sangat rahasia.  Perlawanan terhadap pemerintah dilakukan secara simbolik melalui pesan media.  Tidak dengan pernyataan perang secara terbuka atau sebagaimana ajakan suatu negara dalam  perang konvensional atau  “gun men to gun men”.

Kelompok teroris melakukan perlawanan terhadap negara melalui serangan-serangan yag dilakukan secara asimetrik; korban kecil tapi berdampak besar dan global. Karenanya tidak mengherankan jika kelompok teroris gemar menggunakan ‘jasa’ media dalam membesarkan serangan kecil yang mereka lakukan. Di sisi lain, media memang membutuhkan pemberitaan ini, bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan media sangat provit-oriented. Media berlomba lomba mencari berita yang paling ekslusive atas akibat perang asimetrik teroris.

Sering untuk mendapatkan itu, media harus turun ke TKP yang seharusnya dihindari karena berisiko tinggi terhadap keselamatan awak media. Sayangnya, beberapa kali media terlalu asyik memberitakan kelompok teroris hingga entah disadari atau tidak, mereka melakukan glorifikasi terhadap sosok teroris. Glorifikasi ini menampilkan sosok teroris seolah menjadi tokoh yang besar, contoh terbaru adalah Santoso di Poso. Sementara aparat penegak hukum justru mengalami demonisasi atau bahkan denounced exesive, pemberitaan yang berlebih-lebihan dan digambarkan sebagai musuh agama.

Terkait semua kondisi itu, timbul pertanyaan yang kritis bahwa orang tentu tidak sekonyong-konyong menjadi radikal, tidak ada juga manusia yang dilahirkan menjadi teroris,  kenapa dan bagaimana radikalisasi terjadi pada mereka? Sekonyong-konyong? Atau ada proses?

Jawabnya betul bahwa ada rangkaian proses bagaimana seseorang menjadi radikal dan seterusnya menjadi teroris. Pertama; lingkungan dan kondisi sosial. Lingkungan sosial ternyata merupakan bagian dari proses radikalisasi itu. Komunitas masyarakat yang sangat agamis tertata baik, cenderung seragam, adalah pilihan yang tepat bagi kelompok teroris untuk menenamkan paham serta idiologi agama pro kekersannya.

Apalagi bila di dalam komunitas itu ada “ kandidat”. Ada orang yang dianggap tepat untuk menjadi pelaku, pemimpin bahkan “pengantin”. Mulailah kelompok jaringan teroris masuk. Memberikan pesan dan signal kekerasan pro agama. Perlahan namun pasti pertemuan taklim-taklim kecil berulang dilakukan.

Kedua; melalui pertemuan-pertemuan taklim baik dalam skala kecil, sedang, maupun besar yang dilakukan secara berkesinambungan, maka akan lahirlah tokoh guru yang menjadi prominent dan diidolakan, dari sini rawan terjadi proses identifikasi. Ketiga; proses pemilihan sasaran yang tepat, dan proses identifikasi tersebut tentu saja akan memulai pendalaman ajaran, paham-paham, idiologi yang disebut Indoktrinasi.

Keempat ; ini adalah puncak kegiatan terorisme, yaitu jihadisasi. Di mana di situ telah ada pembagian tugas yang jelas untuk pelaksanaan eksekusi. Proses inilah yang disebut “jihadisasi atau tahapan aksi”.

Bertolak dari itu semua mudah dipahami bahwa proses radikalisasi kelompok teroris dilakukan dengan sangat terencana. Radikalisasi ada di tengah-tengah kita. Ia akan memilih target di tengah komunitas masyarakat. Ada yang karena tingkat keamanan yang terlalu beresiko sehingga ia memilih lingkungan keluarga sendiri yang kita sebut “kinship atau bloodship”. Ada yang lebih memeilih merekrut teman atau memang memiliki pengalaman kebersamaan yang lama (friendship). Namun yang lebih banyak terjadi di Indonesia adalah melaui proses “decipleship’ dan” warship”, yaitu rekrutmen melalui proses pemilihan patron guru dan  bawahan yang terjadi melalui proses pendidikan agama dengan indoktrinasi yang ketat.

Dari proses radikalisasi dan rekrutmen yang saya pahami tersebut, saya ingin mengatakan bahwa sebetulnya ada rentang waktu yang panjang untuk seseorang menjadi radikal dan akhirnya menjadi teroris. Secara psikologis sebetulnya merubah mindset perlu waktu. Tapi faktanya bisa kita lihat betapa pelaku-pelaku sekarang relatif muda, ada yang berumur 18 dan 19 tahun. Artinya dia direkrut pada saat usianya 10 atau 11 tahun. Bagaimana bisa? bukankah pada usia itu anak anak masih sangat lekat pada bapak dan ibunya? Bahkan kebanyakan masih ‘anak mami’. Dalam catatan saya juga sedikit sekali atau bahkan tidak ada pelaku bom bunuh diri yang yatim piatu. Artinya ada orang tua yang seharusnya di tengah mereka. Artinya ada ruang dan waktu yang kosong dimana radikalisme pelan tapi pasti masuk ke dalam jiwa sang anak.

Untuk itu ayo kita awasi anak kita. Berikan kasih sayang. Ajarkan akhlak dan agama yang benar. Yang muslim carikan guru agama yang benar. Dampingi anak-anak saat belajar agama dan mengaji, komunikasikan perkembangan anak pada guru di sekolah. Antar orang tua murid pun harus saling bertukar informasi atas perkembangan anak.

Semoga anak-anak kita menjadi anak-anak yang berguna bagi nusa dan bangsa, serta menjadi anak yang soleh, yang mampu menjalankan Islam secara hanifah samha, lurus dan toleran.

Amin