Anak Muda dan Digital Tak Bisa Dipisahkan, Peneliti: Waspada Disusupi
Pandangan Keagamaan Salah

Jakarta – Generasi muda dan digital saat ini seperti dua sisi mata
uang yang tidak bisa dipisahkan. Di sisi lain, juga terjadi fenomena
muslim milenial mengidentifikasi diri sebagai kelompok hijrah. Karena
itu, muslim milenial harus diberi pemahaman yang benar agar tidak
memiliki pandangan keagamaan yang salah.

Hal itu dikatakan oleh Founder Alvara Research Center, Hasanuddin Ali
dalam kegiatan bertema Peta Moderasi Beragama di Kelompok Media yang
digelar di Jakarta, Selasa (30/5/2023).

Hasanuddin mengungkapkan muslim milenial memiliki setidaknya sejumlah
karakteristik yang patut menjadi perhatian para aktivis dan jurnalis
media keislaman moderat. Karakteristik generasi muslim baru ini,
pertama, tech savvy (memiliki ketergantungan terhadap teknologi).
Kedua, semangat keberagamaan yang tinggi. Ketiga, memiliki adopsi yang
tinggi terhadap nilai-nilai keagamaan. Keempat, memiliki banyak uang
dan memiliki keleluasaan dana untuk berdonasi.

“Empat karakteristik muslim milenial ini harus kita dekati agar tidak
didahului oleh pihak-pihak yang memiliki pandangan keagamaan yang
salah,” kata Hasanuddin Ali dikutip dari NU Online.

Sekretaris Lakpesdam PBNU ini mengatakan bahwa anak muda dan digital
seperti sepasang sisi mata uang, tidak bisa dipisahkan. Konsumsi
internet yang sangat tinggi sangat berpengaruh terhadap perilaku anak
muda.

“Derasnya arus informasi yang mereka terima membuat mereka tidak mampu
mencerna informasi secara mendalam. Mereka gampang berpindah dari
informasi satu ke informasi lain,” ungkapnya.

Menurut dia, dalam hal sosial agama, anak muda adalah generasi bebas
merdeka. Mereka tidak mudah terikat dalam satu kelompok tertentu. ini
tercermin dari identifikasi afiliasi ormas yang mereka ikuti. Lebih
dari 60% dari mereka tidak merasa terafiliasi dengan ormas mana pun.

“Pemahaman keagamaan pun sebagian besar mereka dapatkan dari media
digital, terutama YouTube dan media sosial lain yang berbasis visual.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para ustadz yang sering
muncul di medsos lebih berpeluang menjadi ustadz panutan anak muda,”
papar Hasan.

Contoh paling terkini adalah Ustadz Hanan Attaki. Gen Z yang
mengidolakan dai muda milenial asal Aceh ini berada di peringkat 10
besar di antara para ustadz dan ulama di Indonesia. Baca Juga NU dan
Tantangan Mengelola Generasi Milenial

“Jadi, mengalahkan kiai-kiai besar yang mumpuni dan kompeten.
Misalnya, Gus Mus dan Gus Baha,” papar Hasan.

“Jadi, Gus Mus dan Gus Baha di kalangan Gen Z kalah dengan Ustadz
Hanan Attaki. Meskipun di generasi yang lebih tua beliau berdua lebih
tinggi daripada Hanan Attaki,” sambungnya.

Ia juga memaparkan tentang penetrasi media sosial di Indonesia
berdasarkan generasi. Facebook hampir disukai oleh seluruh generasi.
Uniknya, TikTok sebagai platform yang relatif baru mampu menyodok ke
posisi tiga di bawah Instagram dan di atas Twitter.

“Untuk Gen Z, Facebook 85,6 persen. Instagram 75,3 persen. TikTok ini
54,1 persen. Twitter 13 persen. Untuk Milenial, Facebook 88,1 persen.
Instagram 56,5 persen. TikTok 41,2 persen. Twitter 6,7 persen.