JAKARTA – Semua pihak harus peduli bahaya propaganda termasuk video berpaham radikalisme dan terorisme yang bisa berpengaruh pada anak-anak terlebih berbagai survey menggambarkan bahwa anak-anak makin dekat dengan tindakan radikal. Strategi komunikasi semua pihak harus diubah untuk mencegah mereka dari paham ini.
“Keluarga jelas tidak bisa tutup mata, informasi ini harus dikomunikasikan kepada anak, termasuk resikonya, sehingga anak juga paham,” kata staf pengajar ilmu Komunikasi Universitas Paramadina Jakarta, Hendri Satrio kepada media, Selasa (26/5/2016). Hal itu menanggapi video latihan senjata oleh anak-anak Indonesia dan Malaysia di Suriah yang dirilis beberapa web radikal minggu lalu.
Hendri juga menyoroti dunia pendidikan yang beberapa diantaranya sudah tersusupi paham pada kegiatan sekolah. “Nah dunia pendidikan tidak boleh terus retorika. Pembuat kebijakan harus menemukan strategi tepat menangkal ini,” kata Hendri. Karena itu menurut Hendri dunia pendidikan harus mengikuti rekomendasi dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai badan koordinasi masalah radikalisme dan terorisme.
Selain itu, komunikasi pemerintah tentang nilai-nilai asli Indonesia harus ditingkatkan dengan menggunakan cara-cara yang dapat diterima anak dan remaja zaman sekarang. Hendri juga mengatakan bahwa pendekatan kebudayaan dan seni masih elegan dilakukan. Pendekatan yang kaku dan pelarangan secara langsung sebaiknya disesuaikan dengan keadaan.
“BNPT menjadi dirigen penanggulangan paham radikal. Lembaga pemerintah lain pun harus mau mengikuti dan memberikan resources terbaik saat mengikuti arahan BNPT,” kata Hendri. Isu ini, menurutnya, tidak bisa diselesaikan dengan himbauan saja, harus ada ketegasan dengan menggunakan pendekatan tepat kepada anak dan remaja.
Hendri juga menyoroti peran media massa. “Mereka harus mendukung program ini dengan tidak membantu menyebarkan berita atau informasi yang terkait propaganda. Cukup informasi cover bothside yang bisa ditampilkan,” katanya. Sehingga menurutnya, semua pihak harus peduli pada bahaya propaganda radikalisme.
Sementara itu, guru besar sosiologi Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah, Prof. Dr. Bambang Pranowo juga menyatakan bahwa intensitas anak-anak juga makin dekat dan permisif dalam hal tindakan radikal. “Survey yang pernah kami lakukan 5 tahun lalu, menunjukkan bahwa anak-anak menyetujui tindakan radikal,” kata Prof Bambang. Menurutnya ini membutuhkan perhatian banyak pihak, tidak hanya pemerintah.
Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin oleh Prof Dr Bambang Pranowo yang dilakukan pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, mengungkapkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal.
Data itu menyebutkan 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia. Jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3% siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom