Jakarta – Sejumlah perempuan asal Irak yang diduga pernah menjadi anggota ISIS mendapat kekerasan seksual di sejumlah kamp pengungsi di Irak Utara. Pernyataan itu diungkapkan aktivis Hak Azasi Manusia (HAM) Amnesty International (AI).
Pernyataan itu terdapat dalam publikasi yang dikeluarkan AI, Selasa kemarin. Temuan itu berdasarkan wawancara dengan 92 perempuan anggota ISIS di delapan kamp pengungsi di Distrik Salahadin dan Niniweh. Dalam publikasi itu digambarkan secara rinci pemerkosaan dan penyerangan seksual terhadap para perempuan tersebut.
“Mereka dipaksa dan ditekan untuk melakukan hubungan seksual dengan imbalan uang. Mereka tidak bisa menolak, disamping tertekan mereka juga butuh uang, juga bantuan kemanusiaan dan perlindungan dari para pria,” bunyi pernyataan AI dilansir dari The Washington Post.
Dari wawancara itu, banyak terungkap fakta bahwa para perempuan itu dulu memiliki suami yang terbunuh atau ditangkap saat melarikan diri dari Mosul, kota di Irak Utara saat koalisi menggelar operasi merebut kota itu dari tangan ISIS. Selain mengalami kekerasan seksual, para perempuan dan anak-anak juga kerap tidak diberi bantuan kemanusiaan oleh pejabat Irak karena dicurigai terkait dengan milisi ISIS.
Publikasi berjudul “The Condemned: Women and Children Isolated, Trapped and Exploited in Irak” itu menyatakan mereka juga ada yang telah kembali ke rumah-rumahnya. Penggusuran, penjarahan, ancaman, dan pelecehan mereka alami. Bahkan ada yang aliran listriknya diputus atau bahkan rumah mereka dihancurkan.
“Perempuan dan anak-anak yang dicurigai terkait ISIS dihukum atas kejahatan yang tidak mereka lakukan. Hukuman kolektif yang memalukan tersebut berisiko meletakkan dasar kekerasan lagi di masa depan,” kata Direktur Penelitian Timur Tengah, Amnesty International, Lynn Maalouf.
Pasukan Irak yang didukung kekuatan udara koalisi pimpinan Amerika Serikat berhasil mengusir ISIS dari Mosul pada Juli 2017 setelah menggempur kota itu selama sembilan bulan berturut-turut. Kelompok ekstremis ISIS menduduki kota itu selama tiga tahun setelah pemimpinnya Abu Bakr Al Baghdadi mendeklarasikan pembentukan kekhilafahan yang membentang mulai dari Irak hingga Suriah.
Pada November 2017, Perserikatan Bangsa-bangsa menyatakan sedikitnya 2.521 warga sipil tewas dalam pertempuran untuk merebut Mosul dari tangan ISIS. Kelompok teroris itu mengeksekusi sedikitnya 741 orang. Sedikitnya 74 makam massal ditemukan di dalam atau sekitar kota.
Amnesty International menyerukan kepada Perdana Menteri Irak Haider Al Abadi untuk menghentikan perlakuan buruk terhadap mereka yang belum terbukti terkait dengan ISIS.
“Untuk mengakhiri siklus marjinalisasi dan kekerasan komunal yang melanda Irak selama beberapa dekade, pemerintah Irak dan komunitas internasional harus berkomitmen untuk menegakkan hak semua warga Irak tanpa diskriminasiTanpa itu, tak akan ada rekonsiliasi nasional atau perdamaian abadi,” tandas Maalouf.