Jakarta – Persoalan radikalisme yang ada di indonesia tidak hanya terbatas pada terorisme, melainkan juga mencakup eksklusivisme dan ekstremisme.
Hal itu dikatakan Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid dalam webinar yang digelar British Council bertajuk Gerakan Anak Muda Bagi Inklusi Sosial di Indonesia, Minggu (6/9/2020).
“Bahwa radikalisme itu bukan soal terorisme tapi soal eksklusivisme dan ekstremisme. Karena kalau kita hanya bicaranya teorisme aja kita tersesat nanti,” kata Alissa, sebagaimana dikutip kompas.com.
Alissa mengatakan, eksklusivisme justru lebih fundamental dari radikalisme. Di Indonesia, eksklusivisme umumnya bersinggungan dengan agama. Hal itu terjadi karena beragamnya penduduk Indonesia, termasuk dalam hal agama.
“Kalau di Eropa, Amerika Utara itu eksklusivismenya itu white supermacy, tapi kalau di Indonesia lebih banyak ke agama,” ujarnya.
Jika masyarakat yang beragam di suatu negara belum bisa saling menghargai perbedaan, kata Alissa, maka inklusi belum tercapai. Padahal, struktur dan sistem sosial harus inklusif agar semua kelompok masyarakat mendapat kesempatan yang sama atau q.
Untuk mendorong terciptanya masyarakat yang inklusif, Alissa menilai perlu adanya perubahan yang berkelanjutan dan melibatkan tiga dimensi.
Pertama, perubahan dari kalangan akar rumput atau warga pada umumnya. Kedua, program dan kebijakan negara yang menunjang.
Ketiga, yakni kelompok masyarakat sipil yang menghubungkan antara akar rumput dengan pemangku kepentingan melalui berbagai advokasi.
Alissa mengatakan, ketiga unsur harus berjalan bersamaan agar benar-benar tercipta perubahan.
Terkait radikalisme, Alissa memandang perlu adanya pendekatan kepercayaan (faith) dan teologi dalam menciptakan perubahan. Misalnya, bagaimana agama-agama di Tanah Air memandang perihal radikalisme.
“Itu baru akan bisa sustainable atau perubahan itu bisa sustainable dilakukan di dalam masyarakat,” kata putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid itu.