Alarm Radikalisme di Dunia Anak: Kemendikdasmen Perketat Pengawasan Sekolah

Jakarta – Pernyataan Densus 88 Antiteror Polri mengenai temuan lebih dari 110 anak di Indonesia yang terpapar paham radikal melalui game online memicu keprihatinan luas. Fenomena ini menguatkan dugaan bahwa ruang digital kini menjadi salah satu jalur rekrutmen kelompok teroris, terutama yang menyasar anak sekolah dan remaja.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menegaskan bahwa pihaknya akan lebih intensif memantau potensi paparan radikalisme dan terorisme di lingkungan pendidikan. Meski begitu, ia mengingatkan bahwa isu terorisme bukan hanya tanggung jawab Kemendikdasmen.

“Penanganannya perlu melibatkan banyak lembaga. Ada BNPT yang khusus menangani terorisme, ada kementerian lain yang mengawasi media sosial. Kami ingin memastikan sekolah menjadi tempat yang aman, bebas dari segala bentuk kekerasan,” kata Mu’ti usai mengikuti kegiatan Jalan Sehat #RukunSamaTeman di Kemenko Polkam, Jakarta Pusat, Minggu (23/11).

Mu’ti menekankan bahwa anak Indonesia harus terlindungi, bukan hanya dari risiko menjadi korban, tetapi juga dari kemungkinan terlibat sebagai pelaku.

Di kesempatan yang sama, Ketua Komisi X DPR RI Hetifa Sjaifudian menilai situasi saat ini sudah masuk tahap darurat kekerasan terhadap anak, termasuk terkait paparan konten ekstremisme dan radikalisme. Menurutnya, peringatan ini harus menjadi alarm bagi seluruh pihak.

Hetifa sependapat bahwa menciptakan lingkungan sekolah yang aman tak bisa hanya dibebankan pada pemerintah. Orang tua, guru, dan komunitas sekitar punya peran besar dalam mengawasi perkembangan anak.

“Kita tak bisa lagi bersikap cuek. Orang tua dan guru harus tahu betul dengan siapa anak berkomunikasi, apa yang ia mainkan, dan lingkungan pergaulannya. Paparan radikalisme bisa muncul dari banyak saluran, tidak hanya dari game online,” ujarnya.

Ia berharap adanya gerakan bersama lintas lembaga dan kementerian untuk menghadapi persoalan ini secara lebih sistematis dan terkoordinasi.

“Harus ada langkah kolektif, melibatkan kementerian terkait. Seperti sekarang, bukan hanya Kemenko PMK, tapi juga Kemenko Polkam,” tutupnya.