Al-Qur’an dan Kearifan Lokal Menyatu dalam Budaya Sulawesi Tenggara

Kendari — Nilai-nilai Al-Qur’an dan kearifan lokal di Sulawesi Tenggara terbukti mampu berjalan berdampingan dalam harmoni. Tradisi adat yang hidup di masyarakat tidak sekadar menjadi simbol budaya, melainkan juga sarana dakwah dan pembentukan karakter umat yang berkeadaban.

Pandangan tersebut disampaikan Danial, akademisi IAIN Kendari, dalam kegiatan Dialog Media bertema “Cahaya Al-Qur’an di Timur Nusantara: Harmoni Iman, Alam, Budaya”, yang digelar dalam rangkaian Seleksi Tilawatil Qur’an dan Hadits (STQH) Nasional XXVIII Tahun 2025 di Kendari, Sulawesi Tenggara.

“Al-Qur’an tidak turun dalam ruang hampa budaya. Ia hadir untuk meluruskan dan menyempurnakan tradisi agar sejalan dengan nilai-nilai ilahiah,” ujar Danial, Rabu lalu.

Menurut Danial, Sulawesi Tenggara memiliki kekayaan budaya dari berbagai suku seperti Tolaki, Buton, Muna, Moronene, dan Wakatobi, yang masing-masing memiliki tradisi selaras dengan ajaran Islam.

Ia mencontohkan, Kalosara pada suku Tolaki menjadi simbol keadilan dan penyelesaian konflik secara damai; Haroa di Buton dan Wuna menumbuhkan rasa syukur melalui tradisi syukuran bersama; Katoba di Muna mengajarkan nilai Islam pada anak menjelang usia baligh; sementara Takabira di Moronene melambangkan kecintaan masyarakat terhadap Al-Qur’an melalui tradisi khataman.

“Semua tradisi ini menjadi cerminan bagaimana nilai-nilai Al-Qur’an hidup di tengah masyarakat. Islam tidak meniadakan budaya, justru mengarahkan adat menuju kemaslahatan,” jelasnya.

Dalam pemaparannya, Danial mengutip Surat Al-Hujurat ayat 13 sebagai dasar penting harmoni antara iman dan budaya, yang menegaskan bahwa keberagaman suku dan bangsa merupakan kehendak Tuhan agar manusia saling mengenal.

“Ayat ini menegaskan bahwa keberagaman adalah bagian dari rahmat Allah. Dari perbedaan itulah kita belajar saling memahami, menghargai, dan bekerja sama dalam kebaikan,” ujarnya.

Ia juga menyitir pepatah adat Tolaki, Inaike nasara dibinadara — barang siapa menghargai adat, maka ia akan dimuliakan — sebagai bukti bahwa nilai-nilai kultural lokal sejalan dengan prinsip penghormatan dalam Islam.

Lebih lanjut, Danial menyoroti sejumlah tantangan dalam menjaga harmoni antara adat dan agama, seperti masih adanya praktik sinkretisme, komersialisasi adat, serta minimnya dialog antara ulama dan tokoh adat. Ia juga menyoroti pudarnya bahasa daerah dan pantun tradisional di kalangan generasi muda yang menggerus pemahaman budaya.

Sebagai solusi, ia mendorong kolaborasi konkret antara ulama dan budayawan dalam menyeleksi adat yang selaras dengan syariat, mengintegrasikan pendidikan budaya di madrasah dan pesantren, serta mendokumentasikan pantun, syair, dan bahasa daerah sebagai media dakwah.

Selain itu, ia juga mengusulkan pembentukan Forum Adat–Ulama sebagai ruang dialog budaya dan syariah di tingkat daerah.

“Kita perlu langkah-langkah nyata yang melibatkan tokoh agama dan budayawan lokal agar nilai Islam dan budaya terus berjalan selaras,” pungkasnya.

Kegiatan Dialog Media ini dibuka oleh Kepala Kantor Wilayah Kemenag Sulawesi Tenggara, Muhammad Saleh, serta menghadirkan sejumlah narasumber nasional, di antaranya Kepala Subdirektorat Lembaga Tilawah dan Musabaqah Al-Qur’an, Rizal Ahmad Rangkuti, dan Muchlis M. Hanafi, Ketua Dewan Hakim STQH Nasional XXVIII Tahun 2025.

Acara diikuti oleh berbagai kalangan media lokal dan nasional, akademisi, serta tokoh agama, yang bersama-sama membahas bagaimana nilai-nilai Al-Qur’an dapat diterjemahkan ke dalam konteks budaya lokal di kawasan timur Nusantara.

Melalui forum ini, diharapkan lahir komitmen bersama untuk memperkuat sinergi antara iman, budaya, dan kemanusiaan sebagai pondasi bagi peradaban yang damai dan berkeadaban di Indonesia.