Jakarta – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol (P) Eddy Hartono, S.I.K., M.H., mengingatkan bahwa ketiadaan aksi teror dalam tiga tahun terakhir bukan berarti jaringan terorisme berhenti bergerak. Menurutnya, aktivitas kelompok tersebut justru terus berlangsung secara diam-diam.
“Situasinya seperti gunung es. Yang tampak tidak ada, tetapi di bawah permukaan mereka tetap berjalan,” ujar Eddy saat memberikan sambutan di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Senin (1/12/2025).
Eddy menyebut ada tiga aktivitas utama yang masih dilakukan jaringan terorisme: propaganda, rekrutmen, dan pendanaan. Ketiga aktivitas itu, kata dia, menjadi indikator bahwa ancaman masih ada meski tidak muncul ke permukaan dalam bentuk serangan fisik.
Dalam paparannya, Eddy menyinggung perkembangan terkait Jemaah Islamiyah (JI). Meski kelompok tersebut telah dilarang pada 2024 dan menyatakan kembali ke NKRI, BNPT mencatat masih ada sekitar seribu mantan anggota yang tetap dipantau.
“JI mungkin sudah membubarkan diri, tetapi datanya ada. Mantan anggotanya tetap harus kita awasi,” jelasnya.
Eddy juga menekankan bahwa Indonesia kini memiliki landasan hukum yang memungkinkan aparat bertindak lebih awal sebelum aksi teror dilakukan. Melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, aparat dapat menjerat seseorang sejak tahap perencanaan.
“Ini yang disebut preemptive justice. Artinya, tindakan persiapan saja sudah bisa dipidana,” kata Eddy. Ia mencontohkan bahwa seseorang dapat ditangkap meski bomnya belum dirakit secara utuh atau belum menjadi barang bukti final.
Pendekatan ini, lanjut Eddy, juga akan diperkuat dengan berlakunya KUHP dan KUHAP baru pada 2026 yang memuat prinsip serupa.
Selain perakitan bom, Eddy menegaskan bahwa aktivitas rekrutmen juga bisa dihentikan sejak tahap indoktrinasi. Aparat, menurutnya, dapat menindak sebelum calon anggota terseret lebih jauh ke dalam jaringan. “Kalau terlambat, mereka bisa dimanfaatkan sebagai martir. Karena itu penanganannya harus sejak awal,” tegasnya.
“Situasinya seperti gunung es. Yang tampak tidak ada, tetapi di bawah permukaan mereka tetap berjalan,” ujar Eddy saat memberikan sambutan di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Senin (1/12/2025).
Eddy menyebut ada tiga aktivitas utama yang masih dilakukan jaringan terorisme: propaganda, rekrutmen, dan pendanaan. Ketiga aktivitas itu, kata dia, menjadi indikator bahwa ancaman masih ada meski tidak muncul ke permukaan dalam bentuk serangan fisik.
Pemantauan Mantan Anggota JI
Dalam paparannya, Eddy menyinggung perkembangan terkait Jemaah Islamiyah (JI). Meski kelompok tersebut telah dilarang pada 2024 dan menyatakan kembali ke NKRI, BNPT mencatat masih ada sekitar seribu mantan anggota yang tetap dipantau.
“JI mungkin sudah membubarkan diri, tetapi datanya ada. Mantan anggotanya tetap harus kita awasi,” jelasnya.
Penegakan Hukum Lebih Dini
Eddy juga menekankan bahwa Indonesia kini memiliki landasan hukum yang memungkinkan aparat bertindak lebih awal sebelum aksi teror dilakukan. Melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, aparat dapat menjerat seseorang sejak tahap perencanaan.
“Ini yang disebut preemptive justice. Artinya, tindakan persiapan saja sudah bisa dipidana,” kata Eddy. Ia mencontohkan bahwa seseorang dapat ditangkap meski bomnya belum dirakit secara utuh atau belum menjadi barang bukti final.
Pendekatan ini, lanjut Eddy, juga akan diperkuat dengan berlakunya KUHP dan KUHAP baru pada 2026 yang memuat prinsip serupa.
Rekrutmen Bisa Dicegah Sejak Indoktrinasi
Selain perakitan bom, Eddy menegaskan bahwa aktivitas rekrutmen juga bisa dihentikan sejak tahap indoktrinasi. Aparat, menurutnya, dapat menindak sebelum calon anggota terseret lebih jauh ke dalam jaringan. “Kalau terlambat, mereka bisa dimanfaatkan sebagai martir. Karena itu penanganannya harus sejak awal,” tegasnya.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!