Aktivitas Terorisme di Ruang Siber masih jadi pintu masuk pemapar tertinggi kedua di Indonesia

Bekasi – Ancaman terorisme di ruang siber memang hingga saat ini baru dua kali termanifestasi dalam bentuk serangan terorisme yakni  kasus serangan tunggal di Polres Banyumas tahun 2017 dan di Mabes Polri tahun 2021.

Namun demikian aktivitas ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di ruang siber menjadi pintu masuk pemapar tertinggi kedua kasus terorisme di Indonesia.

Demikian dikatakan Kasubdit Kontra Propaganda (KP) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI), Kolonel Cpl. Hendro Wicaksono, SH., M.Krim., saat menjadi narasumber pada acara Rapat Koordinasi Tindak Lanjut Rekomendasi Pencegahan Penyebaran Ideologi Radikalisme, Ektrimisme dan Terorisme di Ruang Siber.

Acara Rakor yang digelar  Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum, dan Kemananan (Kemenko Polkam) lalui Deputi Bidang Koordinasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat di Avenzel Hotel, Bekasi, Selasa (9/12/2025) ini juga  mengundang Kementerian / Lembaga (K/L) terkait yakni Kementerian Komonikasi dan Digital (Kemenkomdigi), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai narasumber.

Kolonel Hendro dalam paparannya menjelaskan, Global Trend 2040 yang dirilis oleh National Intelligence Council (2021) menggambarkan perkembangan teknologi sebagai salah satu faktor kunci yang mempengaruhi situasi global khususnya berhubungan dengan keamanan.

“Sejalan dengan itu, United Nations Pact for the Future menekankan peranan multipihak dalam menciptakan ruang siber yang aman dari berbagai ancaman termasuk ekstremisme kekerasan dan terorisme,” ujar Kasubdit KP

Dijelaskan alumni Akmil tahun 1996 ini, ancaman keamanan terhadap keamanan siber dibagi menjadi dua aspek yang dibedakan berdasarkan objek ancaman siber, yaitu ancaman teknis dan ancaman sosial

Ancaman Teknis ini meliputi infrastruktur informasi dan sistem elektronik. Dalam konteks terorisme sebagai contoh meliputi serangan siber dalam berbagai bentuk seperti hacking dan pencurian informasi untuk tujuan terorisme.

Sedangkan Ancaman Sosial meliputi dampak ancaman siber terhadap masyarakat. Dalam konteks ekstremisme berbasis kekerasan sebagai contoh meliputi aktivitas propaganda, disinformasi dan misinformasi, serta perekrutan.

“Secara umum proses radikalisasi di ruang siber menjadi sangat rentan terjadi, merujuk pada teori 3 N yaitu Needs , Narrative dan Network. Needs ini adalah kebutuhan akan aktualisasi diri dan signifikansi yang memotivasi. Lalu Narrative yaitu ketersediaaan narasi dan selanjutnya yaitu Network yakni pertemuan antara motovasi dan narasi dengan kelompok yang tepat dalam hal ini kelompok terorisme  baik secara langsung bertatap muka atau sebaliknya,” ujar mantan Kasi Penggalangan Subdit KP ini

Lalu kaitannya dengan aksi propaganda, mantan Wakapaldan XV/Pattimura ini mengatakanyang menurutnya pernah dikatakan  mantan narapidana terorisme yang menceritakan bahwa jaringan teroris itu sebenarnya tengah menunggu dan mengupayakan adanya momentum kekacauan.

“Dengan adanya momentum kekacauan ini narasi propaganda kelompok teroris dipandang akan menjadi alternatif yang relevan di tengah masyarakat,” ujarnya

Menurutnya, adanya ruang Siber ini tentunya dapat membuka individu terekrut dan terpapar ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, aktivitas kelompok teroris di ruang siber juga berkontribusi pada langgengnya teroris

“Selain itu dengan adanya berbagai perkembangan teknologi saat ini jaringan teroris internasional diketahui mulai memanfaatkan beberapa teknologi terbaru. Di antaranya adalah kecerdasan buatan (artificial intelligence), 3D printing, drone, dan video game,” ucapnya.

Untuk itu menurutnya rekomendasi program pemerintah yang secara khusus telah menyasar target pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di ruang siber selama ini adalah dengan melakukan upaya blokir dan take down yang telah dilaksanakan oleh Kemenkomdigi berdasarkan monitoring mandiri maupun pelaporan dari K/L terkait.

“BNPT sendiri juga memiliki Pusat Media Damai dan Duta Damai di 19 provinsi dan 2 wilayah Duta Damai Santri. BNPT juga secara aktif melaksanakan strategi kontra narasi dan kontra propaganda. Deteksi dini juga perlu dilakukan oleh beberapa lembaga yang melakukan pendeteksian diantaranya BIN, Polri dan  Komdigi serta melakukan program dukungan pada media massa moderat,” katanya mengkahiri.

Rakor tersebut dipimpin langusng oleh Asisten Deputi bidang Koordinator Penanganan Kejahatan Transnasional dan Kejahatan Luar Biasa Kemenko Polkam, Brigjen Pol. Adhi Satya Perkasa, S.Ik., MH.. K/L lain yang turut hadir dalam acara tersebut yakni Badan Intelijen Negara (BIN), Bais TNI, Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan Agung dan Baintelkam Polri.

Turut mendampingi Kasubdit KP dalam Rakor ini yaitu Kasubdit Perlindungan WNI dan Kepentingan Nasional di Luar Negeri, Kolonel Sus. Drs. Solihudin Nasution, M.Si., Kasubdit Teknologi Intelijen, Donnie Allie Murfie dan staf.