Bandung – Terorisme merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan, doktrin dan ideologi yang menyerap kesadaran masyarakat. Terorisme seperti layaknya virus atau penyakit yang dapat melemahkan masyarakat. Ladang subur bagi terorisme adalah masyarakat yang dicemari dengan paham fundamentalisme ekstrim atau radikalisme keagamaan.
Hal tersebut diungkapkan Direktur Perlindungan Kedeputian I, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol Drs. Herwan Chaidir saat memberikan sambutan di acara Sosialisasi Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Keadaan Darurat pada Perkeretaapian dari Ancaman Terorisme yang diadakan Direktorat Perlindungan BNPT di Hotel Kedaton, Bandung, Kamis (26/11/2015) siang
“Aksi terorisme umunya dilakasanakan dengan perencanaan yang baik dan kemampuan strategis yang tepat. Teror utamanya memiliki dampak psikologis dengan tujuan menciptakan rasa panik, ketakutan dan kekhawatiran pada masyarakat,” ujar Herwan Chaidir.
Herwan mengatakan, terorisme juga menekankan pada makna simbolik, sehingga dapat menyerang siapa saja. Karena terorisme merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.
“Kami dari BNPT melalui direktorat perlindungan telah melakukan koordinasi lapangan, penyusunan database dan menyusun SOP pada ancaman terorisme di perkeretaapian, sebagai tindak lanjut implementasi tupoksi penanggulangan terorisme serta dalam mensinergikan stakeholder yang ada,” ujar alumni Akpol tahun 1987 ini.
Dijelaskan Herwan, pola pengamanan terhadap ancaman terorisme di dalam negeri dilaksanakan dalam dua bentuk, yaitu pengamanan pasif dan pengamanan aktif.
“Pengamanan pasif dimana pengamanan dengan menekankan pada pengamanan tempat atau target yang berpotensi menjadi sasaran penyerangan terorisme berupaa penggunaan alat-alat monitoring, petugas keamanan yang menyamar, peningkatan kewaspadaan di target-target obyek vital dengan pemeriksaan terhadap setiap orang,” ujar mantan Kabid Pencegahan Densus 88 Anti Teror Mabes Polri ini
“Lalu pengamanan aktif dijelaskannya secara aktif mengidentifikasikan setiap tempat tinggal yang diperkirakan aktifitas teroris akan muncul, mengawasi aktifitas individual atau kelompok yang terkait dengan kekerasan, mengadakan pengamatan, pendahuluan, pencarian dan penangkapan, serta pengadilan ketika terjadi tindakan terorisme. Meliputi juga sharing informasi antar instansi,” ujarnya.
Dalam pengamatannya selama ini modus ancaman terorisme pada perkeretaapian adalah penggunaan akses oleh orang yang tidak berwenang, penyelundupan persenjataan/ perlatan atau senjata pemusnah massal penggunaan gerbong KA untuk membuat insiden keamanan atau Chaos, penutupan jalan/jalur kereta api, penggunaan senjata nuklir, penyanderaan, serangan bom, serangan bersenjata,
“Penanggulangan ancaman dilakukan dengan peningkatan kemampuan Man (orang atau pegawai), Machine dan Material (pelatihan). Jika nantinya dilakukan perubahan SOP tentunya sesuai dengan kondisi, ceramah latihan lapangan serta meningkatkan anggaran keamanan,” ujarnya.
Dikatakan pria yang pernah menjadi Kapolres Gorontalo ini, terorisme sendiri merupakan kejahatan teroganisir (organized crime) karena sangat jarang ada pelaku teror yang bergerak secara tunggal atau parsial.
“Sebanyak 95% merupakan kelompok atau jaringan; bersifat kejahatan lintas negara (transnational crime); akibat yang ditimbulkan dari kejahatan tersebut adalah bersifat luar biasa (extraordinary Crime); secara umum dilakukan dengan pembajakan, penyanderaan, pengeboman penculikan pembunuhan berencana, penembakan gelap, mutilasi, telepon gelap dll,” katanya.
Menurutnya, salah satu tantangan yang dimungkinkan terjadi pada dunia perkeretaapian adalah ancaman pengeboman dan penyanderaan. Karena terorisme sendiri memiliki tujuan melegalisasi perjuangan, mendapat dukungan, menghukum lawan dan menyebarkan rasa takut.
“Untuk itu pemberantasan terorisme harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh di segala bidang (Epoleksosbud). Semua cara harus memperhatikan supremasi hukum, setiap tindakan pemeberantasan terorisme harus didukung dengan bukti yang kuat, operasi militer bukan solusi akhir. HAM jangan menjadi jaminan kerusakan / collateral damage dalam perang melawan teror,” ujarnya.
Dirinya juga berpesan bahwa perang melawan terorisme janganlah dihubungkan dengan satu agama atau kebangsaan dan tidak dapat menerapkan standar ganda. Pemberantasan terorisme jangan sampai menambah tensi konflik nasional.
“Jadi kegiatan sosialisasi SOP pada hari ini bertujuan selain untuk sharing informasi, juga untuk mengetahui bagaimana penanggulangan yang optimal agar tepat sasaran,” ujarnya mengakhiri.