Jakarta – Pada Jumat (3/7), Presiden Filipina Rodrigo Duterte menyetujui undang-undang anti-terorisme baru, yang dikhawatirkan oleh para pengkritik akan mempercepat merayapnya otoritarianisme di negara yang secara nominal demokratis itu.
Wakil Indonesia untuk Komisi HAM antar Pemerintah ASEAN (AICHR), Yuyun Wahyuningrum, mengkritik pengesahan Undang-Undang Anti-Terorisme Filipina (RA 11479) yang ditandatangani oleh Presiden Rodrigo Duterte.
Pasalnya, undang-undang itu dapat menjadi alat penguasa memidanakan kelompok oposisi, aktivis, akademisi, dan warga sipil lainnya, hanya dengan mencurigai mereka sebagai teroris, kata Yuyun lewat pernyataan tertulisnya, sebagaimana dikutip Antara, Sabtu (4/7).
Tidak hanya itu, UU itu juga mengancam hak mendasar warga, di antaranya kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul dan berserikat di Filipina, tambah dia.
“Saya sangat khawatir dengan definisi terorisme dan aksi teror yang terlalu luas dalam RA 11479 sehingga memungkinkan aparat melakukan penindakan secara acak, melanggar hak privasi, dan menekan kelompok oposisi sebagaimana telah dialami oleh pegiat HAM, akademisi yang kritis atau para pekerja kemanusiaan,” terang Yuyun.
Wakil AICHR Indonesia menjelaskan ia menerima laporan bahwa pemerintah setempat telah menetapkan beberapa anggota organisasi masyarakat sipil, kelompok gereja, akademisi dan wartawan, termasuk Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Masyarakat Adat, Victoria Tauli-Corpuz, sebagai bagian dari kelompok teroris atau terlibat dengan aksi teror.
“Upaya penanggulangan terorisme memang penting, tetapi langkah itu harus dilakukan dengan tujuan menegakkan hak asasi manusia dan aturan hukum yang ada. Jika tidak, pengesahan UU itu akan menjatuhkan keabsahan kebijakan anti-terorisme itu sendiri,” sebut Yuyun.
Pemerintah Filipina di bawah kepemimpinan Presiden Duterte mengganti Undang-Undang Keamanan Individu 2007 dengan Undang-Undang Anti-Terorisme 2020 yang juga disebut dengan Undang-Undang Republik 11479. UU itu tetap diteken oleh Presiden Duterte, meskipun banyak pihak dari organisasi masyarakat sipil, anggota parlemen, dan komisi HAM di Filipina menentang langkah tersebut.
Alasan penolakan, salah satunya, UU itu dapat memidanakan seseorang yang dicurigai secara tidak langsung terlibat gerakan terorisme. Bagian kesembilan undang-undang itu menyebutkan aparat dapat memidanakan mereka yang dicurigai melakukan penghasutan lewat orasi, pernyataan sikap, tulisan, poster, spanduk, dan alat lainnya tanpa harus terlibat langsung dalam aksi teror.
“Ketentuan itu dapat mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi (di Filipina, red),” jelas Yuyun, Wakil Indonesia untuk AICHR.
Ketentuan lain yang jadi perhatian AICHR Indonesia tertuang pada Bagian 29, yang menyebutkan penegak hukum dapat menangkap dan menahan tersangka selama 14-20 hari tanpa perlu ada surat perintah. Tersangka, dalam beleid itu, merujuk pada siapapun yang dicurigai terlibat aksi teror.
“Filipina merupakan negara anggota Kovenan Internasional untuk Hak Sipil dan Politik, yang mana pada Pasal 9 disebutkan pemerintah negara anggota wajib menjamin kebebasan individu dari ancaman penangkapan atau penahanan sewenang-wenang, dan Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22 juga menjamin kebebasan berpendapat, berekspresi, mengadakan perkumpulan dengan damai, dan berserikat. Hak-hak ini juga dijamin oleh Deklarasi HAM ASEAN, yang mana Filipina merupakan salah satu perancang dan pihak yang ikut memberi tanda tangan,” jelas Yuyun.
Oleh karena itu, ia berpendapat pengesahan UU Anti-Terorisme bertentangan dengan komitmen Pemerintah Filipina terhadap penegakan HAM di tingkat nasional, kawasan, dan dunia.