Jakarta – Lanjutan sidang gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menghadirkan ahli sosiologi politik Islam dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Dr Zuly Qodir MSi sebagai saksi dari pihak tergugat (Pemerintah). Dalam keteranganya, HTI merupakan sebuah partai politik yang memang anti-Pancasila, mengharamkan pemilu dan berkeinginan mendirikan negara Islam.
“HTI adalah partai politik pembebasan, pasti memiliki misi yang dikehendaki hanya saja tidak dikemukakan secara tegas. HTI mengharamkan Pancasila serta pemilu,” ujar Zuly Qodir di Pengadilan Tata Usaha negara (PTUN) Jakarta, Kamis, (05/04/2018).
Dikutip dari laman infonawacita.com, Zuly memaparkan hasil penelitianya bahwa HTI menolak sistem Pancasila karena dalam pemahaman HTI, Pancasila bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam banyak kesempatan pimpinan HTI kerap menyatakan bahkan memfatwakan menolak pemilu yang merupakan perwujudan dari demokrasi, karena dinilai sebagai praktik “thogut” atau praktik melawan perintah Allah.
“Problemnya saudara-saudara saya ini (HTI) mengharamkan Pancasila dan pemilu. Maka perebutan kekuasaan bisa dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Untung Ini belum terjadi,” tutur Zuly.
Zuly menambahkan bahwa apa yang diperjuangkan oleh HTI bertentangan dengan cita-cita para pendiri bangsa, karena HTI mewajibkan pendirian negara Islam, memobilisasi massa dan senantiasa mengatakan apa yang dilakukannya merupakan dakwah Islam.
Zuly menekankan Pancasila sejalan dengan ajaran agama Islam serta Piagam Madinah yang disusun Nabi Muhammad SAW. Dia mengatakan Pancasila tidak pernah mengajarkan seorang muslim untuk shalat, puasa, naik haji dan lain sebagainya, namun sila pertama Pancasila sangat menghormati orang-orang yang menjalankan ibadah shalat, puasa, naik haji dan lain sebagainya.
Dia melanjutkan, Pancasila sila kelima juga menyatakan keadian sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang sejalan dengan ajaran agama Islam bahwa tidak boleh ada monopoli kekayaan sehingga umat diwajibkan berzakat dan bershadaqoh.
“Memang betul belum tercipta keadilan sosial seluruhnya di Indonesia, tapi sedang proses menuju ke sana. Pasti akan selalu ada orang miskin, pasti akan selalu ada orang tidak bisa makan, lalu apakah harus dibubarkan negaranya,” jelas dia.
Dia mengingatkan jika ada pemimpin yang dibilang rakyat gagal, maka pemimpin itu yang harus diganti, bukan membubarkan negara.Hal ini sama halnya dengan berdakwah, ketika sebuah dakwah gagal maka dilakukan penyempurnaan dalam dakwah itu bukan dengan membubarkan agamanya.