Jakarta – Ahli bahan peledak asal Italia Danilo Coppe (56), mengklaim ledakan yang terjadi di Beirut disebabkan misil militer. Dilansir dari Dailymail.co.uk pada Selasa (11/8/2020), Danilo meyakini bahwa ledakan yang meluluhlantakkan Beirut pada Selasa (4/8/2020) itu bukan disebabkan amonium nitrat.
Danilo berpendapat demikian lantaran melihat ledakan yang berwarna oranye. Pakar yang dijuluki Mr. Dynamite ini menjelaskan, ketika amonium nitrat meledak, ledakannya akan berwarna kuning. Namun, video ledakan yang beredar memperlihatkan asap yang berwarna oranye.
“Seharusnya ada katalisator, karena jika tidak, tidak akan semuanya meledak bersamaan. Anda dapat dengan jelas melihat kolom (ledakan berwarna) oranye bata dan cenderung merah terang, ciri khas partisipasi litium,” katanya.
“Yang berupa lithium-metal merupakan propelan untuk rudal militer. Saya pikir ada persenjataan di sana,” imbuhnya.
Diketahui, katalisator adalah suatu zat yang mempercepat laju reaksi kimia pada suhu tertentu, tanpa mengalami perubahan atau terpakai oleh reaksi itu sendiri.
Danilo menjelaskan bahwa pada ledakan pertama yang besar, dan itu mungkin memicu api di mana persenjataan disimpan. dia mengklaim, api itu lantas menyebar ke lokasi bahan peledak yang ada dalam misil atau roket.
Ledakan yang terjadi di Beirut diyakini ukurannya seperlima dari bom atom Hiroshima. Sebab pasca ledakan, bentuk dataran hingga garis pantai Mediterania berubah.
Pasca ledakan besar di ibukota, kondisi Beirut mencekam karena warga sipil melakukan demonstrasi dan berujung pada kerusuhan. Bahkan, pengawal pribadi pejabat tinggi Lebanon, Nabih Berry, tertangkap kamera sedang menembaki pengunjuk rasa. Menggunakan celana jins dan kaus hitam, pengawal itu mengarahkan senjata ke kerumunan demonstran dan menembakkan peluru.
Perlu diketahui, Nabih Berry (62) merupakan pemimpin faksi Syiah terbesar di parlemen dan didukung Hizbullah. Pekan lalu fotonya digantung di tiang ketika pengunjuk rasa berdemonstrasi menentang kepemimpinan politik yang mereka salahkan atas ledakan tersebut.
Beberapa waktu lalu, Iran mengimbau agar negara-negara tidak mempolitisasi ledakan dan mendesak AS mencabut sanksi terhadap Lebanon.
“Ledakan itu tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk tujuan politik, penyebab ledakan itu harus diselidiki dengan hati-hati,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri, Abbas Mousavi, dalam konferensi pers.
Iran mendukung Hizbullah, kelompok Syiah yang merupakan salah satu kekuatan politik paling kuat di Lebanon. Kelompok ini dianggap Washington sebagai kelompok teroris dan dihukum dengan sanksi.