Jakarta – Perdebatan tentang agama dan nasionalisme pernah terjadi sekitar 30-40 tahun sebelum kemerdekaan. Namun perdebatan itu telah selesai setelah diputuskan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan dasar negara pada 18 Agustus 1945. Dan terbukti Pancasila bisa menjadi jalan tengah terbaik dalam menjaga persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Kita bangsa Indonesia sudah maju bahwa agama disandingkan dengan nasionalisme. Di negara muslim lain, itu tidak terjadi, kita justru tuntas menyelesaikannya. Kita menggunakan kaidah bahwa agama dan negara tidak mungkin dipisahkan makanya Indonesia bukan negara teokrasi, bukan sekuler, tapi negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Itulah Pancasila,” kata mantan Wakil Ketua Umum PBNU KH. Asad Said Ali di Jakarta, Jumat (3/6/2018).
Kiai Asad mengungkapkan setelah diputuskannya Pancasila, sehari setelah Kemerdekaan Indonesia itu, diskusi tentang agama dan nasionalisme kembali muncul antara tahun 1956-1959 di lembaga Konstituante saat akan menentukan dasar negara dan Undang-Undang Dasar (IUUD) lagi. Di situ terjadi perdebatan sengit, partai-partai islam seperti Masyumi, NU, PSII, dan lain-lain, marah ketika partai nasionalis bentukan kelompok liberal, dan sosialis meminta kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa di sila pertama Pancasila, diganti menjadi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Artinnya masyarakat boleh tidak beragama yaitu atheis. Mereka juga meminta agama tidak menjadi bagian dari negara. Partai-partai islam akhirnya keluar sehingga Konstituante deadlock selama tiga tahun. Kemudian muncullah inisiatif dari NU yang mengusulkan kembali ke Pancasila dan UUD 1945 dan Ketuhanan Yang Maha Esa tetap seperti yang disepakati 18 Agustus 1945 yang diartikan tauhid yaitu bukan negara agama, bukan negara sekuler, tapi negara yang merujuk dan menghormati agama.
Menurutnya, persoalan itu muncul kembali ketika kran kebebasan dibuka pada 1998. Akibat globalisasi, liberalisasme neolib menjadi menang di dunia. Mereka menganggap liberalisme neolib sistem yang terbaik, sistem lain tidak ada.
“Sebenarnya diskusi soal agama dan nasionalisme sudah selesai. Itu muncul lagi karena globalisasi dan ada reformasi, dimana kelompok neolib ingin memaksa neo liberalisme, sedangkan kelompok radikal islam, ingin negara islam lagi. Ironisnya, negara diam sehingga perdebatan ini muncul lagi,” ungkap Kiai Asad.
Ia tidak memungkiri bila hal-hal semacam ini sengaja dimunculkan sebagai propaganda kelompok radikal terorisme untuk menimbulkan kegaduhan di Indonesia. Menurutnya ada banyak faktor yang membuat radikalisme dan terorisme masih bergentayangan di Bumi Nusantara seperti ketimpangan ekonomi, pengaruh globalisasi. Akibatnya ada yang terseret ikut liberal ada juga yang ikut-ikutan mau mendirikan negara islam, juga polarisasi masyarakat yang sangat tinggi sehingga kebebasan menjadi seperti tanpa rem.
Untuk itu, Kiai Asad mengajak seluruh bangsa untuk kembali ke kesepakatan para pendahulu bangsa, yaitu semangat bersama bangkitkan negara Pancasila dan kebersamaan sebagai suatu bangsa. Juga kebebasan beragama, serta sikap tidak boleh saling menyalahkan. Karena itu perlu suatu konsolidasi demokrasi.
“Saya harapkan mana aturan yang kira-kira tidak cocok ayo kita perbarui, tapi konteksnya untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa pada era globalisasi ini. Dengan berpegang pada Pancasila yang teraktualisasi sebagai ideologi terbuka, kita buka kran dimana batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Kalau kita berpegang pada semangat Pancasila, saya yakin semua bisa diselesaikan dengan baik,” ungkap mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ini.
Intinya, lanjut Kiai Asad, semua pihak atau golongan harus dirangkul dan jangan distigma. Juga jangan memaksakan sesuatu yang tidak dipaksakan. “Misalnya, kita harus menjadi barat atau kita harus menjadi Arab. Yang benar kita Indonesia. Mana yang baik dari demokrasi dan mana yang baik dari nasionalisme barat kita ambil, sementara yang jelek harus dibuang. Mana yang baik dari nilai-nilai agama kita ambil, yang tidak cocok jangan dipakai,” tukas Kiai Asad.
Begitu juga dengan adanya pertentangan tentang istilah Islam Nusantara yang diusung NU, serta Islam Berkemajuan yang digaungkan Muhammadiyah. Menurutnya, kedua istilah itu baik karena intinya adalah islam rahmatan lil alamin. Islam Nusantara itu islam yang kultural, artinya agama yang menghormati budaya. Seperti orang padang berbicara “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” yang artinya adat yang didasarkan syariat agama Islam, yang syariat tersebut berdasarkan pada Al-Quran.
Begitu juga dengan Muhammadiyah dengan Islam Berkemajuan. Itu artinya, Muhammadiyah menjadikan islam untuk memajukan negara di era modern. Yang penting itu masih berpijak pada kebangsaan bukan asal jiplak dari Arab Saudi saja. Tapi Arab sendiri sebenarnya juga tidak salah, karena mereka juga punya budaya seperti wajib miqot.
“Itu semua budaya, jadi jangan dipertentangkan karena itu hanya mempertentangkan apa yang tidak perlu dipertentangkan. Islam Nusantara, Islam Berkemajuan itu sudah paling idel di Indonesia. Jangan itu dijadikan isu politik untuk kepentingan politik yang tidak bermanfaat bagi perkembangan bangsa Indonesia,” pungkas Kiai Asad.