Ada Dua Kemungkinan Seseorang Berpaham Ekstrem Dalam Beragama

Jakarta  – Ada dua kemungkinan seseorang bisa berpaham ekstrem dalam
beragama yakni memandang sesuatu secara berlebih-lebihan dan melampaui
batas. Karena itu dua hal tersebut harus dihindari.

Hal itu diungkapkan Mantan Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim
Saifuddin dalam Webinar Pendekatan Multikultural dalam Bimbingan
Keagamaan yang diinisiasi Ditjen Bimas Hindu Kemenag, Selasa
(1/10/2024)..

Kegiatan itu diikuti para penyuluh agama Hindu. Lukman Hakim
menjelaskan mengapa dua hal tersebut harus dihindari. Berlebih-lebihan
pasti akan negatif, termasuk dalam sebuah kebaikan.

Ia mencontohkan konsep makan dan minum, apabila berlebih-lebihan makan
akan berdampak buruk pada kesehatan dan juga lingkungan.

“Tentu semua kita tahu makan minum baik, menjaga stamina, menjaga
metabolisme tubuh membangkitkan energi. Tapi kalau kita
berlebih-lebihan menjadi tidak baik,” kata dia.

Menurutnya, manusia tidak boleh melampaui batas karena segala sesuatu
ada batasnya, kecuali Tuhan. Dalam konteks beragama, lanjut dia,
manusia tidak boleh menyikapi teks-teks keagamaan yang tertuang dalam
kitab suci hanya sebatas teks dan mengabaikan konteks.

Konteks berarti situasi atau kondisi yang melatarbelakangi suatu
peristiwa yang memunculkan teks tersebut. Menurut dia, teks tidak
mungkin muncul begitu saja, selalu ada konteks yang mengiringinya.

Maka ketika ada seseorang yang memahami teks-teks keagamaan dan hanya
bertumpu pada teks semata dan tidak peduli dengan konteks, orang
tersebut bisa mengingkari inti pokok dari ajaran agama.

“Dan ketika inti pokok dari ajaran agama diingkari maka ekstrem dia,”
kata Lukman Hakim.

Ia mengatakan seseorang juga tidak boleh terlalu bebas dalam menyikapi
teks keagamaan. Kitab suci, tindakan dan ucapan dari orang suci atau
pemuka agama itu disikapi begitu saja secara bebas tanpa batas,
terlalu mendewakan nalar, akal pikiran, sehingga tercerabut dari
teksnya itu sendiri.

“Pertama terlalu kaku karena bertumpu pada teks saja. Nah yang kedua
terlalu longgar, terlalu bebas, dalam menginterpretasi teks-teks
tersebut, sehingga tercerabut dari teks itu sendiri dan akhirnya
mengingkari inti pokok ajaran agama itu sendiri,” kata Lukman Hakim.

Menurut dia, peran moderasi agama menjadi benteng dalam menjaga agar
seseorang tidak berpandangan ekstrem dalam mengamalkan ajaran agama.
“Karena keragaman pemahaman beragama itu sunatullah, maka moderasi
beragama ingin menjaga agar pelaksanaan ajaran dan amalan agama tidak
berlebih-lebihan,” kata dia.

Menurut dia, beragama adalah memahami ajaran-ajaran agama dan
mengamalkan ajaran agama. Apa yang diimani harus manifestasi atau
terwujud dalam bentuk amalan. Oleh karena itu amalan harus berbasis
pada iman.

Lukman mengungkap moderasi beragama adalah proses yang tidak berakhir,
agar cara beragama tidak berlebih-lebihan dan melampaui batas.
(Ant/TA)