Kendari – Mantan teroris Abdurrahman Ayyub mengungkapkan bahwa teroris berpikiran dangkal dalam memahami ayat-ayat suci Al Quran. Hal itulah yang membuat mereka salah menafsirkan ayat-ayat terutama tentang jihad dan takfiri sehingga mereka tidak sadar memilih jalan yang salah.
“Mereka (teroris) sering menggunakan ayat tentang hukum milik Allah, sementara yang lainnya thogut. Dalil itu digunakan untuk menjustifikasi kebenaran pandangan mereka untuk mempengaruhi orang awam. Mereka juga selalu menuntut keadilan yang sesuai versi mereka karena memahami ayat secara dangkal,” ujar Abdurahman Ayyub pada Dialog Pelibatan Masyarakat Dalam Pencegahan Paham Radikal dan Terorisme Melalui Perspektif Hukum di Sulawesi Tenggara di Hotel Athaya, Kendari, Jumat, 13 Mei.
Fakta ini menjadi PR besar umat Islam Indonesia untuk meluruskan pandangan. Pasalnya bila tidak ada upaya untuk meluruskan pemahaman salah itu, dikhawatirka akar-akar terorisme di Indonesia akan berkembang lebih besar lagi.
Dialog yang digelar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang bekerja sama dengan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Sulawesi Tenggara ini dihadiri oleh 212 peserta yang terdiri dari unsur hakim,jaksa, TNI, POLRI, mahasiswa/dosen Fakultas Hukum, instansi terkait bidang hukum, legislatif dan Ormas terkait bidang hukum.
Hadir pada kegiatan ini Kasubdit kewaswpadaan BNPT Dr.Hj. Andi Intang Dulung, M.H.I. yang menyinggung tentang penegakan hukum tindak pidana terorisme terkendala dengan regulasi Undag-undang Terorisme di Indonesia masih lemah. Di dalam UU Terorisme itu masih terdiri dari pasal-pasal penindakan dan belum ada pasal-pasal pencegahan sehingga sulit untuk mengatasi masalah radikalisme di Indonesia.
Gubernur Sulawesi tenggara yang diwakili oleh Asisten II Dr. I Ketut Puspa Adian,M.Tp. dalam sambutannya menyampaikan bahwa sejak tahun 2003 lembaga-lembaga pusat bahkan internasional melihat Sulawesi Tenggara adalah provinsi yang damai. Jika dilihat hubungan agama di Sulawesi Tenggara sudah sangat baik. Komposisi masyarakat di Sultra cukup heterogen dan ini sangat menguntungkan untuk Sultra karena tidak ada dominasi suatu kelompok sehingga potensi konflik tidak terlalu besar.
“Tetapi ada hal yang cukup menjadi perhatian kita semua bahwa penelitian terakhir mengungkap 20 % guru sudah tidak lagi memandang Pancasila sebagai hal yang penting,” ungkap Ketut.
Narasumber lainnya pakar hukum Dr. Suhardi Somomoeljono, SH, MH. Dalam materinya, Suhari menyampaikan bahwa Menurut hukum Islam melakukan aksi teror adalah haram, baik teror dilakukan secara perorangan ataupun kelompok. Haramnya melakukan aksi teror, itu berdasarkan Al-Quran surat Al-Maidah ayat 32.
Ditambah lagi para ulama melalui lembaga MUI telah mengeluarkan fatwa haram tentang perbuatan terorisme. Fatwa ini tercantum dalam fatwa MUI No 3 Tahun 2004. Fatwa ini merujuk pada keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Terorisme, tanggal 22 Syawwal 1424/16 Desember 2003; dan Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 05 Dzulhijjah 1424/24 Januari 2004.
Dalam fatwa itu, MUI mengatakan bahwa Terorisme telah memenuhi unsur tindak pidana (jarimah) hirabah dalam khazanah fiqih Islam. Para fuqaha mendefinisikan al-muharib (pelaku hirabah) dengan:“Orang yang mengangkat senjata melawan orang banyak dan menakut-nakuti mereka (menimbulkan rasa takut di kalangan masyarakat).”