Bogor – Bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni, seluruh bangsa Indonesia diajak untuk menyatuhan paham bahwa menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila sama halnya dengan menolak paham radikal terorisme. Hal itu adalah bentuk pelajaran bela Negara seluruh anak bangsa demi untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari ancaman perpecahan.
“Pencegahan terorisme bukan tanggung jawab pemerintah saja, tetapi tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia. Contohnya kegiatan bela negara ini juga bagian dari pencegahan paham radikalisme dan terorisme,” ujar Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen. Pol. Hamidin saat memberikan paparan pada kegiatan Bela Negara yang digelar Kementerian Pertahanan di Desa Cibodas, Rumpin, Kabupaten Bogor, Rabu (1/6/2016).
Brigjen Hamidin menjelaskan bahwa dalam pencegahan paham radikalisme dan terorisme itu, perlu adanya upaya soft power. Itu penting dalam menangkal dan menghindari masuknya paham kekerasan itu melalui berbagai lini kehidupan.
Dalam prakteknya, kata Brigjen Hamidin, penyebaran paham radikalisme dan terorisme ada beberapa propaganda dan narasi keagamaan yang dikembangkan oleh kelompok teroris di Indonesia. Misalnya, menurut paham radikal, agama selain Islam itu harus ditolak.
“Hal ini sangat berbeda jauh apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan bahwa islam itu agama yang moderat, agama yang rahmatan li alamin,” ungkap mantan petinggi Densus 88 Polri ini.
Ia menjelaskan ada beberapa kunci konsep radikalisme yaitu menegaskan kembali kejayaan islam seperti jaman salafy dengan jalan jihad. Hal inilah yang harus diwaspadai masyarakat agar tidak terbawa oleh bujuk rayu dan propaganda paham kekerasan tersebut. Karena itu konsep pencegahan paham tersebut sangat penting untuk melindungi masyarakat dari paham sesat itu.
Dalam memerangi kejahatan terorisme, lanjut Brigjen Hamidin, harus dilihat dari beberapa aspek. Aspek yang pertama adalah pencegahanya dan yang kedua kontra radikalnya. Selama ini, pemerintah dibawah koordinasi BNPT dengan berbagai lembaga negara dan organisasi masyarakat sudah melakukan penanganan terorisme di Indonesia secara massif. Tapi itu belum cukup, ke depan tantangan dalam pencegahan terorisme ini akan semakin berat.
Menurutnya, penanganan terorisme ada beberapa ciri. Ciri pertama menggunakan hard approach (penindakan) berupa penegakan hokum yang tidak main-main. Terbukti dalam sejarah terorisme di Indonesia dari tingkat satu sampai tingkat tiga bisa diungkap oleh kepolisian dan aparat penegak hokum lainnya.
“Terakhir kasus Bom Thamrin, Januari lalu. Itu contoh begitu cepatnya negara mengungkap dan melumpuhkan kekuatan terorisme tersebut. Itu bisa dilakukan karena aparat penegak hukum kita sudah bisa membaca dan memahami pola-pola terorisme di Indonesia,” terang Brigjen Hamidin.
Ciri kedua adalah soft approach (pencegahan). Menurut mantan Kapolres Jakarta Pusat ini, upaya pencegahan itu dilakukan menggunakan beberapa pendekatan. Diantaranya dengan menggunakan pendekatan kultur dan budaya. Yang ketiga kerjasama internasional dengan berkolaborasi dengan negara sahabat yang konsen dalam memerangi tindak kejahatan terorisme.
Ketiga konsep inilah, ungkap Brigjen Hamidin, sedari dulu sudah dilakukan oleh negara. Pada kesempatan itu, ia berpesan kepada para peserta harus bisa menyaring segala bentuk berita yang terjadi akhir-akhir ini, baik itu melalui sosial media maupun media sosial. Karena hari ini banyak sekali konten konten yang mengajarkan paham radikalisme dan terorisme yang begitu masif di sosial media.