Sosialisasi SOP Penanganan Keadaan Darurat pada Perkeretaapian Untuk Cegah Ubah Niat Pelaku Dalam Melakukan Aksi Teror

Bandung – Dalam menghadapi ancaman terorisme, tidak ada satu negara pun yang kebal terhadap ancaman tersebut. Hal tersebut terlihat seperti penyerangan di Madrid dan Jepang serta serangan terhadap penumpang kereta di Prancis beberapa waktu lalu.

Ancaman aksi terorisme terhadap sektor transportasi seperti perkeretaapian tentunya tidak bisa dielakkan. Sehingga perlu ada petunjuk teknis, meskipun sudah dimiliki masing-masing Kementrian ataupun Lembaga-lembaga terkait. Petunjuk teknis dapat diimplementasikan dengan baik jika dipahami dan dilaksanakan dengan baik.

Hal tersebut dikatakan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol DR. Saud Usman Nasution, SH, MH saat menjadi keynote speaker sekaligus membuka acara Sosialisasi Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Keadaan Darurat pada Perkeretaapian dari Ancaman Terorisme yang diadakan Direktorat Perlindungan pada Kedeputian I BNPT di Hotel Kedaton, Bandung, Rabu (25/11/2015) malam.

“Adanya SOP ini bertujuan untuk mengubah niat dan keinginan pelaku dalam melakukan teror. Dalam hal perkeretaapian, ancaman terorisme juga sangat laten. Sosialisasi merupakan bagian dalam penyempurnaan dari SOP yang telah ada. SOP ini diharapkan dapat diberlakukan menyeluruh di seluruh wilayah Indonesia,” ujar Kepala BNPT.

Dikatakannya bahwa di Jepang ada lima tingkat pengamanan fasilitas perkeretaapian. Di Indonesia harus mampu menghadapi gelombang pelaku teror yang diperkirakan akan kembali ke Indonesia. “Dimana himbauan Presiden adalah memperketat sistem pengamanan dan melaksanakan SOP yang sudah ada,” ucapnya.

Kemudian Saud menceritakan latar belakang sejarah ancaman terorisme di Indonesia sendiri bukanlah merupakan hal yang baru. “Sejak negeri ini Merdeka pada tahun 1945, dan sudah disepakati oleh pendiri bangsa bahwa Pancasila sebagai dasar falsafah negara kita, meskipun 80% penduduk Indonesia adalah penduduk muslim,” ujar Saud.

Dikatakan Saud, meski sudah disepakati bahwa Pancasila sebagai Falsafah negara, namun hal tersebut ditentang oleh sebagian kelompok Islam. Di masa Orde Lama, bentuk ancaman sudah ada mulai dari jaman NII, DI/TII, Kahar Muzakar, dan Daud Beureuh.

“Tentunya mereka memiliki tujuan untuk membentuk Khilafah. Bentuk Penanggulangan di jaman tersebut adalah dengan cara operasi militer. Cara ini dianggap tidak tepat, karena yang seharusnya dihadapi adalah paham/ideologi,” ujarnya

Lalu di jaman orde baru menurutnya ada ancaman teroris lainnya seperti Clesendo, Teror Waran, Teror Woyla, Bom Borobudur yang juga memiliki tujuan membentuk khilafah. “Di jaman orde baru itu bentuk Penanggulangan dengan cara operasi intelejen dan pemberlakukan UU Subversif serta pembentukan Kamtibpassus,” kata alumni Akpol tahun 1981 ini.

Lebih lanjut Saud menjelaskan bahwa di era tahun 1980 ada WNI yang berangkat sebagai FTF ke Afganistan, yaitu Abu Bakar Ba’asyir (ABB), Masduki yang kemudian terbentuk 6 angkatan untuk menyiapkan dukungan dan kekuatan, berkolaborasi dengan mujahidin untuk menyerang Soviet.

“Dan kelompok ini kemudian bergerak ke Malaysia untuk bergabung dengan Noordin M. top, Azhari. Lalu pada tahun 1992, kelompok ini mendirikan Abu sayyaf di Filipina, Moro. Kelompok ini bergabung di Malaysia dan Filipina untuk membentuk Khilafah di Indonesia,” ujarnya..

Lalu di era reformasi kebebasan yang ada, membuat celah terjadinya banyak serangan-serangan terorisme. Diawali Tahun 1999, pengeboman di berbagai tempat dengan 36 lokasi di Indonesia, termasuk gereja yang dilaksanakan oleh Kelompok Jamaah Islamiyah (JI) dimana motif yang dilakukan JI ini adalah dendam karena di Ambon banyak kaum muslim yang terbunuh

“Kemudian di tahun 2001, peledakan terjadi di rumah duta besar Filipina. Pelaku Anonim. Motif sebagai serangan balasan karena pemerintah Filipina menutup sekolah /akses pendidikan yang dikepalai oleh Abu Dujana. Lalu disusul tahun 2002, terjadi insiden Bom Bali I. Dimana motifnya karena penangkapan pelaku WTC,” kata pria yang pernah menjadi Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Mabes Polri ini.

Cikal bakal terbentuknya ISIS adalah setelah adanya bombardir AS d Irak. Sebagian loyalis Saddam bergabung dengan sejumlah pemberontak di Suriah kemudian membentuk Syuro Mujahidin menyebarkan arab spring di Suriah

Akibat dari adanya ancaman yang terjadi terus menerus itu menurut Saud, maka pemerintah belajar untuk menghadapi ancaman tersebut dengan membentuk JCLEC (Jakarta Centre Law Enforcement Cooperation), Pusat Pelatihan Investigasi Polri Bertaraf Internasional.

“Tetapi kemudian di tahun 2004 terjadi peledakan di depan kedutaan besar Australia dimana motif dari peledakan tersebut karena Australia sebagai pencetus JCLEC,” ujar mantan Kapolda Sumatera Utara ini.

Lalu tindak lanjut penanggulangan terorisme dengan adanya kejadian tersebut adalah dengan pembentukan DKPT (Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme) dan penyusunan UU. No 15 Tahun 2003, dimana KUHP dan KUHAP tidak mampu menghadapi terorisme sebagai extraordinary crime.

“Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pendekatan hukum tidaklah cukup, namun dibutuhkan pendekatan kultur dan sosial. Selain itu diperlukan adanya perubahan mindset dari pelaku – diusulkan pembentukan BNPT (penindakan serta pendekatan kultur dan budaya) Karena akar masalah dari semua ini adalah ketidakadilan dan kesenjangan sosial, dampak otonomi daerah, ekonomi, masalah korupsi, dll,” katanya.

Dikatakannya, ancaman terorisme di tahun 2013-2015 sendiri mengalami pasang surut. “Abu Bakar Ba’asyir telah Berbaiat dan bergabung dengan Khilafah ISIS untuk mewujudkan khilafah Global. Jaringan pencari suaka dan jaringan ISIS telah bergabung. Bahkan salah seorang pejabat di Departemen Kehutanan dan Lingkungan Hidup, tertangkap di Turki, akan menyeberang dan melakukan Jihad,” ucapnya.

Bahkan masyarakat Korea Selatan yang bergabung dengan ISIS bukan beragama Islam, namun hanyalah WN biasa yang merupakan teknisi di perusahaan tertentu yang termajinalkan. “Perubahan radikal yang dilakukan ISIS menginspirasi mereka untuk bergabung.

Indonesia sendiri menurutnya tidak hanya menjadi pengirim Foreign Terrorist Fighters (FTF), tetapi juga menerima dan melatih. “Contoh kasus tertangkapnya pelaku teroris Uighur di Poso – terkait dengan bom Thailand, serta pengeboman Vihara di Vietnam,” ujarnya

Untuk itu dalam kesempatan tersebut pria yang pernah menjadi Kadiv Humas dan Wakabareksrim Polri ini mengatakan bahwa SOP Penanganan Keadaan Darurat pada Perkeretaapian dari Ancaman Terorisme ini hadir untuk meniadakan potensi ancaman yang sangat tinggi.

“Oleh karena itu di BNPT melalui Direktorat Perlindungan mempunyai tugas untuk melindungi obyek vital serta orang-perorangan. Dan SOP ini diharapkan menjadi konsep yang berguna dalam mencegah siapa saja yang ingin melakukan tindakan yang membahayakan individu maupun kelompok masyarakat di negeri ini,” ujarnya mengakhiri sambutannya.