Kemajuan di bidang informasi dan teknologi merupakan sebuah pencapaian sekaligus berkah dari tuhan yang sangat patut disyukuri, karena dengan kemajuan tersebut kita dapat melihat segala sesuatu dari perspektif yang lebih baik. Tetapi hal ini sepertinya tidak berlaku pada sebagian kelompok yang masih terbuai dengan kisah-kisah masa lalu, ibarat mobil yang tidak kuat melanjutkan perjalanan ke depan, kelompok ini malah oper gigi jalan ke belakang.
Sangat mungkin bahwa kelompok yang memilih untuk membenamkan diri pada romansa masa lalu ini adalah kumpulan orang-orang yang tidak dapat mengikuti derap langkah masa kini yang begitu dinamis dan penuh tantangan. Daripada repot-repot belajar untuk masa depan yang belum jelas, lebih baik tetap terjebak pada bayangan masa lalu yang sudah amblas, begitu mungkin motto hidup mereka; tidak berkembang dan lebih senang hidup dalam angan-angan.
Lucunya, agama selalu dijadikan alasan untuk tetap terbelakang. Mereka mengira bahwa agama menginginkan mereka untuk memutar waktu agar kita semua, iya kita, bisa kembali ke masa lalu: Mendirikan khilafah dan hidup di negeri antah barantah. Kelompok ini lalu menggunakan media-media teknologi –yang di satu sisi mereka hina dina sebagai produk orang kafir, tapi di sisi lain mereka gunakan seenaknya saja tanpa perlu berpikir—untuk menyebar bualan-bualan seputar kejayaan masa lalu seolah tidak pernah ada masalah di masa itu.
Masalahnya, mereka lupa bahwa waktu berjalan ke depan, tidak ke belakangan. Mengajak masyarakat muslim masa kini untuk kembali tunduk pada sitem khilafah adalah bentuk dari kegagalan menterjemahkan masalah. Apa yang terjadi di masa kini haruslah pula dihadapi dengan pendekatan masa kini, jangan sampai menawarkan unta untuk mengatasi problem kemacetan di ibu kota, itu sama sekali tidak lucu! Mengumbar kekecewaan terhadap pemerintah, plus melabeli mereka sebagai kafir, lalu menawarkan metode khilafah sebagai solusi adalah bukti bahwa ada di antara kita yang belum bangun dari mimpi.
Perdebatan tentang khilafah masih belum juga berhenti, terutama terkait dengan aplikasi konsep khilafah di kehidupan masa kini. Hal ini adalah bukti bahwa konsep ini belum selesai, masih berproses. Negara kita beruntung punya sistem demokrasi yang lebih baik dan lebih Indonesia, jadi kenapa harus kembali ke konsep khilafah yang belum jadi? Hal ini diperparah pula dengan tidak adanya satu pun contoh dari negara lain yang mencapai keberhasilan dan kemakmuran karena menggunakan konsep khilafah, terutama Negara di masa modern seperti saat ini.
Bagaimana dengan ISIS? Memang ada banyak kalangan yang menyatakan bahwa kelompok ini adalah bukti nyata kesuksesan aplikasi khilafah, tapi tunggu dulu. Ada jauh lebih banyak lagi orang yang percaya bahwa mereka bukan representasi dari Negara, khilafah, apalagi Islam yang menjunjung tinggi kasih sayang. Karenanya ISIS tidak termasuk dalam contoh yang bisa dicontoh.
Negara (entah siapa yang mengakuinya) yang sangat rajin menggunakan hasil kerja keras orang-orang yang mereka sebut “kafir”, yakni internet, untuk menebar klaim kekhalifahan ini mengaku sebagai kelompok yang bisa mengembalikan kejayaan Islam, salah satu caranya dengan memajang deretan adegan-adegan kekerasan yang mereka kira bisa membuat senang Tuhan. Are you serious???
Jika ajakan mendukung pemberlakuan konsepsi khilafah adalah ajakan untuk menyetujui kesemerawutan ala ISIS, maka tentu orang-orang yang mendukung ajakan ini perlu minum susu dan makan makanan bergizi, siapa tahu hal itu bisa membuat otak dalam kepala mereka kembali berfungsi.
Beragama bukan tentang mengelabuhi kenyataan dengan terus-terusan membenamkan diri pada kisah-kisah kejayaan di masa lalu, tetapi berusaha menggunakannya untuk menebar kebaikan di setiap waktu. Agama juga bukan tentang unjuk gigi melalui parade, karena hal semacam itu hanya akan bertahan sampai sore. Padahal agama harus tetap ada bahkan setelah kita tiada, karena di sanalah segala kebaikan bermula. Agama lebih dari sekedar hiruk-pikuk ‘rebutan surga’, karena ia adalah media untuk mengantarkan kita menjadi manusia yang sesungguhnya, yang selalu mampu memberikan kebaikan untuk sesama.