Guru Jadi Garda Terdepan Lindungi Anak dari Paparan Radikalisme Digital

Guru Jadi Garda Terdepan Lindungi Anak dari Paparan Radikalisme Digital

Surabaya — Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh peran guru dalam mendampingi dan melindungi anak-anak dari berbagai ancaman, termasuk paparan radikalisme dan kekerasan berbasis ideologi.

Hal itu disampaikan Pengamat terorisme Irjen Pol (Purn) Ir. Hamli, M.E., saat menjadi narasumber Dialog Kebangsaan bersama satuan pendidikan di Surabaya, Kamis (18/12/2025). Menurutnya, guru memiliki posisi strategis karena berinteraksi langsung dengan anak-anak pada fase paling rentan dalam pembentukan karakter.

“Maju atau mundurnya negara ini ada di pundak guru,” ujar Hamli.

Ia memaparkan hasil pengamatan terhadap lebih dari 110 anak yang terindikasi terpapar paham kekerasan. Hamli menjelaskan, faktor utama yang membuat anak-anak rentan bukan semata ideologi, melainkan kondisi psikologis dan lingkungan sosial yang rapuh.

“Banyak dari mereka berasal dari keluarga dengan konflik, kurang perhatian orang tua, atau mengalami perundungan. Meski ada juga yang berasal dari keluarga baik-baik saja, faktor kesepian dan kebutuhan untuk didengar menjadi pintu masuk,” jelasnya.

Hamli menuturkan, ada anak yang awalnya hanya ingin tahu dan mendengarkan, namun perlahan terseret lebih jauh karena tidak memiliki ruang dialog yang aman di lingkungan sekitar. Kondisi ini diperparah ketika orang tua dan guru tidak mengetahui aktivitas anak di ruang digital.

“Kalau kita jujur, sering kali kita tidak tahu anak-anak membuka apa di laptop atau ponsel mereka. Padahal di situlah proses awal paparan terjadi,” katanya.

Menurut Hamli, media sosial menjadi jalur utama penyebaran paham kekerasan. Paparan sering kali dimulai dari konten yang tampak ringan, seperti potongan video bernuansa religius di platform seperti TikTok. Ketika anak mengklik konten serupa secara berulang, algoritma akan terus menyajikan konten sejenis hingga mengarah pada materi kekerasan.

“Setelah itu, anak-anak diarahkan masuk ke grup tertutup di WhatsApp atau Telegram. Dari situ, proses indoktrinasi berjalan secara bertahap,” ungkapnya.

Hamli menjelaskan, anak yang bersikap kritis biasanya akan tersisih dari kelompok tersebut. Namun anak yang merasa diterima, memiliki ketertarikan, dan sedang mengalami masalah sosial atau psikologis justru semakin terikat.

Dalam rentang waktu sekitar 118 hari, menurut Hamli, anak-anak tersebut dapat mengalami proses mobilisasi tanpa pernah bertemu langsung dengan pelaku. Bahkan, mereka mulai diperkenalkan pada cara-cara melakukan kekerasan.

Ia mencontohkan kasus di Jawa Timur, di mana seorang anak terindikasi hendak melakukan aksi kekerasan. Meski tidak memiliki bahan peledak, anak tersebut menunjukkan keinginan kuat untuk menyakiti orang lain, yang belakangan diketahui dipicu oleh pengalaman perundungan di sekolah.

“Ini menunjukkan bahwa dunia digital punya daya rusak yang luar biasa jika tidak diimbangi dengan pendampingan,” tegas Hamli.

Ia juga mengungkapkan, saat ini sasaran kelompok ekstrem tidak lagi terbatas pada orang dewasa, melainkan telah bergeser ke anak usia SD, SMP, hingga SMA. Kelompok-kelompok tersebut memanfaatkan isu ideologi, identitas, hingga solidaritas semu untuk merekrut anak-anak.

Karena itu, Hamli menekankan pentingnya peran kolektif antara pemerintah, sekolah, guru, dan orang tua. Pemerintah, kata dia, telah menyusun berbagai regulasi terkait platform digital. Namun upaya tersebut tidak akan efektif tanpa keterlibatan aktif lingkungan terdekat anak.

“Kalau anak masuk grup WhatsApp atau Telegram tertentu, orang tua dan guru perlu bertanya dan berdialog, bukan menghakimi,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan agar praktik perundungan di sekolah tidak dianggap sepele, karena bullying kerap menjadi pintu masuk utama anak mencari pelarian di dunia maya.

“Kontribusi kita dalam mencegah terorisme, kekerasan, intoleransi, dimulai dari hal paling dasar: menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, peduli, dan inklusif,” kata Hamli.

Hamli menutup dengan mengingatkan bahwa ancaman terorisme bersifat global dan terus berkembang, sementara kapasitas lembaga negara terbatas. Oleh karena itu, sinergi seluruh elemen pendidikan menjadi kunci untuk melindungi generasi muda dari pengaruh paham kekerasan.