Jakarta — Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menilai dunia pendidikan saat ini menghadapi tantangan semakin kompleks, baik dari lingkungan nyata maupun ruang virtual. Ancaman tersebut dinilai berpotensi mengganggu tumbuh kembang anak jika tidak ditangani secara serius dan kolaboratif.
Hal itu disampaikan Kepala Unit Kerja Kemendikdasmen, Asep Sukmayadi, S.IP., M.Si., dalam sebuah forum dialog bersama satuan pendidikan. Menurutnya, anak-anak dan remaja kini dihadapkan pada berbagai risiko, mulai dari penyalahgunaan narkotika, judi online, masalah kesehatan, kekerasan dan perundungan, hingga paparan paham radikalisme dan terorisme.
“Lingkungan digital mempercepat dan memperluas ancaman tersebut. Karena itu, sekolah tidak bisa lagi hanya fokus pada aspek akademik, tetapi juga perlindungan dan pembentukan karakter,” ujar Asep.
Asep mengungkapkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Kesehatan menjadi alarm serius bagi pemerintah. Dari sisi kesehatan fisik, sembilan dari sepuluh remaja Indonesia tercatat tidak mengonsumsi buah secara cukup. Pola konsumsi gula berlebih juga memicu munculnya penyakit tidak menular seperti diabetes dan hipertensi sejak usia dini.
Selain itu, sekitar 58 persen anak usia 12–13 tahun tidak memenuhi rekomendasi aktivitas fisik minimal 160 menit per minggu. Kondisi ini dinilai berpengaruh terhadap kebugaran, konsentrasi belajar, dan kesehatan jangka panjang anak.
Dalam konteks tersebut, Asep menegaskan pentingnya menyukseskan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai salah satu intervensi strategis untuk meningkatkan kualitas gizi dan kesehatan peserta didik.
Tak kalah mengkhawatirkan adalah persoalan kesehatan mental. Asep menyebut sekitar 2,45 juta anak dan remaja di Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental, dengan mayoritas dialami oleh anak perempuan. Ironisnya, sebanyak 57 persen anak memilih memendam masalah tersebut karena takut atau tidak tahu harus mengadu ke mana.
“Isu kesehatan mental masih menjadi persoalan tersembunyi. Anak-anak butuh ruang aman untuk berbicara dan didengar,” katanya.
Masalah kekerasan terhadap anak juga masih tinggi. Sekitar sepertiga anak dilaporkan pernah mengalami kekerasan fisik, kekerasan seksual, hingga perundungan, termasuk perundungan digital. Asep menyoroti maraknya pengambilan dan penyebaran foto anak tanpa izin sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap hak anak.
Merespons kondisi tersebut, pemerintah mendorong satuan pendidikan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman, ramah anak, dan bebas dari kekerasan. Pendekatan pembelajaran yang menyenangkan, penguatan aktivitas luar ruang, serta pengembangan kegiatan kreatif intra dan ekstrakurikuler dinilai penting untuk menyalurkan energi positif peserta didik.
Guru juga didorong untuk lebih inovatif dalam pembelajaran, sekaligus menyediakan ruang kreativitas bagi siswa agar mereka tidak mudah terpapar pengaruh negatif, termasuk paham kekerasan dan ekstremisme. Selain itu, Asep menekankan penguatan karakter kebangsaan, cinta tanah air, dan nilai bela negara sebagai bagian integral dari pendidikan, guna membekali generasi muda menghadapi tantangan masa depan secara sehat, kritis, dan berkepribadian Indonesia.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!