Surabaya — Ancaman radikalisasi dan terorisme terus beradaptasi mengikuti perkembangan teknologi informasi. Anak-anak dan remaja kini menjadi sasaran baru kelompok ekstremis yang bergerilya di platform digital. Karena itu, para peran guru sangat besar dalam menghadapi radikalisme digital yang menyasar peserta didik.
Peringatan tersebut disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol (Purn) Eddy Hartono, S.H., M.H., saat memberikan sambutan secara daring dalam Dialog Kebangsaan Bersama Satuan Pendidikan yang digelar di Surabaya, Kamis (18/12/2025). Kegiatan itu diikuti kepala sekolah, guru agama, guru PPKn, guru bimbingan konseling, serta perwakilan satuan pendidikan dari 17 provinsi, baik secara luring sekitar 300 peserta maupun daring kurang lebih 1.000 peserta.
Eddy mengapresiasi tingginya partisipasi satuan pendidikan dalam dialog tersebut. Menurutnya, tema pencegahan intoleransi dan radikalisme sangat relevan dengan dinamika ancaman terorisme global yang bersifat adaptif dan terus berubah.
“Dalam istilah PBB, terorisme itu bersifat resisten dan atraktif. Artinya, kelompok teror mampu menyesuaikan strategi dengan perkembangan zaman, terutama di era digital,” ujar Eddy.
Ia menjelaskan bahwa sebelumnya aktivitas terorisme umumnya mencakup tiga hal utama, yakni propaganda, rekrutmen, dan pendanaan, yang dilakukan secara tatap muka. Sasaran utamanya adalah kelompok usia produktif 25–35 tahun dengan proses radikalisasi yang memakan waktu hingga tiga sampai lima tahun.
Namun, perkembangan teknologi digital telah mengubah pola tersebut secara drastis. Eddy mengungkapkan bahwa saat ini kelompok teror justru menyasar anak-anak di bawah umur melalui media sosial dan gim daring.
“Beberapa bulan lalu, Densus 88 menangkap lima tersangka jaringan Jamaah Ansharud Daulah (JAD) terafiliasi ISIS. Mereka terbukti meradikalisasi 110 anak di berbagai provinsi melalui media sosial dan game online,” ungkapnya.
Dari hasil kajian bersama BNPT, Densus 88, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), serta Kementerian Komunikasi dan Digital, proses radikalisasi di ruang digital dinilai jauh lebih cepat, hanya membutuhkan waktu sekitar tiga hingga lima bulan.
Menurut Eddy, kelompok teror memanfaatkan fitur komunikasi dalam gim daring, seperti voice chat, untuk membangun kedekatan emosional dan rasa kebersamaan. Tahapan ini dikenal sebagai digital grooming, yakni proses membangun kepercayaan, atensi, dan ikatan psikologis dengan korban.
“Setelah ada kedekatan, anak-anak ini perlahan diajak keluar dari ruang gim ke grup tertutup seperti Telegram atau WhatsApp. Di sanalah terjadi normalisasi perilaku dan doktrinasi, termasuk narasi bahwa demokrasi itu haram dan pemerintah adalah thaghut,” jelasnya.
Eddy menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memberikan ruang bagi aparat untuk bertindak secara preventif. Dengan pendekatan preemptive justice, aparat penegak hukum dapat menindak sejak tahap persiapan, tanpa harus menunggu terjadinya aksi teror.
Ia juga menyampaikan bahwa Indonesia telah berhasil menjaga situasi kondusif, dengan tidak adanya aksi terorisme dalam tiga tahun terakhir. Meski demikian, upaya pencegahan dini, khususnya terhadap anak-anak, harus terus diperkuat.
BNPT, lanjut Eddy, mengembangkan pendekatan mikro ekologi anak dalam pencegahan ekstremisme, yang mencakup lingkungan keluarga, sekolah, pergaulan, hingga interaksi digital. Faktor psikologis seperti keluarga tidak harmonis dan pengalaman perundungan (bullying) disebut menjadi pemicu utama kerentanan anak terhadap paparan radikalisme.
Ke depan, BNPT mendorong pembentukan forum komunikasi di sekolah yang melibatkan guru, siswa, dan orang tua agar potensi masalah dapat terdeteksi dan ditangani sejak dini. Selain itu, BNPT tengah menyusun Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) yang lebih komprehensif dan berkelanjutan.
“Pencegahan terorisme adalah kewajiban negara. Ini bukan pilihan, tapi keharusan,” tegas Eddy.
Ia berharap seluruh peserta dialog dapat menjadi duta pencegahan radikalisme di lingkungan masing-masing, sehingga proses belajar mengajar di sekolah tetap aman, damai, dan bebas dari pengaruh ideologi kekerasan.
Sementara itu, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur menegaskan komitmennya menjadikan satuan pendidikan sebagai ruang yang aman, harmonis, dan bebas dari kekerasan maupun pengaruh paham ekstrem. Komitmen tersebut ditegaskan Sekretaris Dinas Pendidikan Jatim, Dr. Suhartono, M.Pd., saat mewakili Kepala Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah Provinsi Jawa Timur.
Suhartono berharap dialog kebangsaan yang digelar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) itu dapat membawa kedamaian bagi dunia pendidikan, tidak hanya di Jawa Timur, tetapi juga secara nasional.
“Atas nama Dinas Pendidikan Jawa Timur, kami menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada BNPT atas terselenggaranya dialog kebangsaan ini. Kegiatan ini sangat penting untuk memperkuat stabilitas dan ketahanan satuan pendidikan,” ujar Suhartono.
Ia menilai, dialog kebangsaan memiliki peran strategis dalam memperkuat pemahaman wawasan kebangsaan, toleransi, dan nilai patriotisme di kalangan pelajar. Karena itu, Dinas Pendidikan Jatim menghadirkan kepala sekolah, guru bimbingan konseling, guru PPKn, serta guru agama agar nilai-nilai tersebut dapat terintegrasi dalam proses pembelajaran.
“Harapannya, materi yang diperoleh dalam dialog ini tidak berhenti di forum, tetapi diimplementasikan dalam pembelajaran dan disampaikan kembali kepada rekan-rekan guru melalui musyawarah guru mata pelajaran,” katanya.
Suhartono juga menyampaikan bahwa Dinas Pendidikan Jatim telah melakukan berbagai langkah konkret untuk mencegah kekerasan di lingkungan sekolah. Saat ini, seluruh satuan pendidikan tingkat SMA, SMK, dan SMP di Jawa Timur telah membentuk Tim Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan (TPPK).
Keberadaan tim tersebut bertujuan menciptakan iklim belajar yang aman dan nyaman, sekaligus mencegah perundungan, kekerasan, hingga potensi kejahatan yang dapat mengarah pada radikalisme dan terorisme.
Pada sesi dialog, kegiatan itu menghadirkan narasumber pengamat terorisme Irjen Pol (Purn) Ir. Hamli, M.E., yang mengupas tentang peta radikalisasi di dunia digital, terutama pola perekrutan di media sosial dan gim daring. Narasumber lainnya adalah Kelompok Ahli BNPT Dra Reni Kusumowardhani, M.Psi., yang mengulas radikalisasi digital dari sisi psikologi anak, sementara eks Napiter ISIS Arief Fathoni memberikan testimoni saat ia teradikalisasi saat masih berkuliah di sebuah perguruan tinggi di Kota Malang, sampai ia sempat berangkat ke Turki, sampai ia ditangkap dan akhirnya insyaf dan kembali ke NKRI.
Hadir juga dalam dialog itu, Direktur Pencegahan BNPT Brigjen TNI Dr. Sigit Karyadi, S.H., M.H., Kasubdit Kontra Propaganda BNPT Kolonel Cpl Hendro Wicaksono, S.H., M.Krim, dan Kepala Unit Kerja Kemendikdasmen, Asep Sukmayadi, S.IP., M.Si..
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!
