Sorong — Di tengah derasnya arus globalisasi dan banjir informasi digital, peran tokoh agama kembali ditekankan sebagai penyangga utama kerukunan sosial. Pesan tersebut mengemuka dalam Perayaan Natal Nasional dan Moderasi Beragama yang digelar di Ballroom Vega Hotel, Kota Sorong, Papua Barat Daya, Sabtu (13/12/2025).
Dalam forum yang diselenggarakan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) itu, Prof. Dr. KH Zainal Abidin, M.Ag., mengingatkan bahwa agama memiliki dua wajah. Di satu sisi, ia mampu menjadi sumber nilai perdamaian, namun di sisi lain dapat memicu konflik bila dipahami secara sempit dan dimanipulasi kepentingan tertentu.
Mengutip teolog dunia Hans Küng, Guru Besar UIN Datokarama Palu itu menegaskan bahwa perdamaian global mustahil terwujud tanpa harmoni antarumat beragama. Prinsip tersebut, menurutnya, sangat relevan bagi Indonesia yang hidup dalam realitas kemajemukan ekstrem—lebih dari 1.300 suku bangsa dengan ragam agama dan kepercayaan.
“Indonesia tidak kekurangan perbedaan. Yang kita butuhkan adalah kemampuan mengelolanya secara dewasa,” ujar Prof Zainal di hadapan peserta perayaan Natal.
Ia menilai, tantangan terbesar kerukunan saat ini justru datang dari ruang digital. Isu-isu bernuansa SARA, hoaks, dan provokasi keagamaan dapat menyebar lintas wilayah dalam hitungan detik dan memicu ketegangan sosial. Sentimen keagamaan, kata dia, memiliki daya ledak yang jauh lebih besar dibanding isu lainnya.
Menurut Prof Zainal, konflik berlatar agama kerap bermula dari akar rumput, bukan dari elit keagamaan. Karena itu, tanggung jawab tokoh agama tidak berhenti pada wacana atau seminar, melainkan harus hadir dalam praktik keseharian umat—mulai dari mimbar, ruang pendidikan, hingga interaksi sosial.
Ia menegaskan bahwa kerukunan tidak dibangun dengan menyeragamkan keyakinan, melainkan dengan menerima perbedaan sebagai kenyataan yang tidak bisa dihapus. Sikap saling menghargai menjadi fondasi utama agar tidak tumbuh klaim kebenaran tunggal yang berujung pada eksklusivisme.
Selain menerima perbedaan, Prof Zainal mendorong penguatan nilai-nilai kemanusiaan universal, pembangunan rasa saling percaya, serta peningkatan kesadaran global melalui pendekatan moderasi beragama. “Moderasi beragama bukan berarti mengaburkan keyakinan, tetapi menjalankan agama secara adil, seimbang, damai, dan menghormati perbedaan,” pungkasnya.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!