LKLB Dorong Guru di Ambon Hidupkan Kembali Semangat Orang Basudara untuk Perdamaian

Ambon — Kearifan lokal tentang persaudaraan dan persatuan yang hidup dalam budaya-budaya daerah di Indonesia dinilai perlu terus diwariskan kepada generasi muda, terutama di tengah kondisi masyarakat yang mudah tersegregasi. Pendidikan menjadi ruang penting untuk mempertemukan perbedaan dan membangun interaksi lintas identitas.

Upaya itu diperkuat melalui Pelatihan Literasi Keagamaan Lintas Kebudayaan (LKLB) yang digagas Institut Leimena. Di Ambon, program LKLB memberi fokus pada penguatan perdamaian berbasis nilai orang basudara serta ekspresi budaya khas Maluku seperti musik.

Ketua Yayasan Sombar Negeri Maluku, Hasbollah Toisuta, dalam Pelatihan LKLB gelombang keempat yang diikuti 40 guru sekolah dan madrasah di Ambon, Jumat (28/11/2025), menuturkan bahwa Maluku sejak masa kolonial merupakan wilayah yang terbuka dan diperebutkan banyak kekuatan asing. Situasi itu menghadirkan ketegangan sosial, termasuk perebutan rempah dan penetrasi agama.

“Namun leluhur kita memiliki modal sosial yang kuat: melihat orang lain sebagai saudara. Filosofi orang basudara menjadi pegangan dalam merawat persatuan di tengah keberagaman,” ujar Hasbollah, yang juga Guru Besar UIN AM Sangaji Ambon sekaligus aktivis perdamaian.

Ia menjelaskan bahwa budaya Maluku merupakan campuran pengaruh Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan berbagai suku. Nilai orang basudara menghadirkan rasa keterikatan yang melampaui batas suku, agama, maupun status sosial, sekaligus menjadi fondasi toleransi dan solidaritas.

Namun, konflik sosial yang meledak di Ambon tahun 1999—yang dipicu isu agama—menjadi tantangan besar bagi warisan tersebut. Konflik itu bahkan menyisakan segregasi permukiman hingga kini. Padahal, berdasarkan berbagai kajian, agama bukanlah faktor utama konflik, melainkan persoalan politik pascareformasi dan dinamika sosial ekonomi lokal.

“Agama hanya dijadikan justifikasi. Provokasi dengan dalih agama membuat masyarakat mengalami masa-masa memilukan pada 1999–2003,” imbuhnya.

Hasbollah berharap pelatihan LKLB dapat memperlengkapi guru menjadi penghubung bagi siswa dan sekolah untuk memperkuat interaksi lintas identitas dengan semangat orang basudara. Ia juga menyoroti nilai pela gandong, tradisi persaudaraan yang dulu menyatukan dua negeri atau komunitas, yang kini dapat diterapkan kembali melalui kerja sama sekolah.

“Ketika saya menjadi rektor IAIN Ambon, kami melakukan pela dengan IAKN Ambon karena sama-sama berada di bawah Kementerian Agama. Sekolah-sekolah pun bisa melakukan hal yang sama demi mempererat kolaborasi,” kata Hasbollah.

Sementara itu, Ketua PGI Wilayah Maluku, Pendeta Elifas Maspaitella, menegaskan bahwa masyarakat Maluku memiliki satu asas hidup yang tidak dapat dihapuskan, yakni inama/ina-ama—keyakinan bahwa semua orang Maluku lahir dari “rahim” yang sama. Nilai ini menjadi dasar kesatuan dan persaudaraan yang tidak dapat dipisahkan.

Karena itu, masyarakat perlu terus diajak membangkitkan memori kolektif tentang ikatan persaudaraan. Menurut Elifas, pendekatan LKLB dapat dikembangkan menjadi kurikulum adaptif di sekolah sebagai bagian dari kurikulum nasional agar generasi muda siap hidup di tengah perubahan cepat dan keragaman sosial.

“Pendidikan tidak boleh stagnan. Pesan perdamaian harus diajarkan lewat pembelajaran yang adaptif, namun tetap mewariskan kearifan lokal, budaya, dan musik,” ujarnya.