Yogyakarta – Fenomena anak dan remaja Indonesia yang terpapar radikalisme melalui platform digital kembali mencuri perhatian publik. Dosen Sosiologi Fisipol UGM, Hakimul Ikhwan, menegaskan bahwa meski isu global seperti perang Suriah mulai mereda, radikalisme di akar rumput tetap menunjukkan konsistensi.
Menurutnya, pola radikalisasi saat ini berbeda dengan lima hingga sepuluh tahun lalu, ketika narasi radikal banyak berkaitan dengan konflik internasional.
“Faktanya, hari ini tidak ada indikasi pengurangan signifikan. Orang masih bisa terpapar dan bergabung dalam konstruksi berpikir radikal,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Fisipol UGM, Jumat (28/11/2025).
Hakimul menyebut paparan ideologi radikal kini menjangkau hampir semua kelompok usia, termasuk anak-anak dan remaja 10–18 tahun. Ia menyinggung kasus terbaru yang melibatkan seorang pelajar di Jakarta yang melakukan penyerangan dengan bom pada saat salat Jumat.
Menurutnya, kasus tersebut menunjukkan bagaimana radikalisme dapat mengakar kuat pada kelompok muda. Ia menjelaskan adanya tiga lapisan dalam piramida radikalisasi: kelompok ideologis di puncak, kelompok seekers yang tengah mencari jati diri, serta kelompok terbesar di lapisan terbawah yang terpengaruh lingkungan, rasa penasaran, atau dorongan kesenangan.
“Media digital memiliki peran besar karena mereka adalah pengguna aktif,” jelasnya.
Hakimul menilai normalisasi kekerasan melalui video game dan konten digital turut membuka ruang bagi internalisasi perilaku agresif. Bagi remaja yang tengah membangun identitas, paparan semacam itu berpotensi menjadi pintu masuk radikalisasi.
Ia juga menyoroti cara kerja algoritma media sosial yang mempersempit cakrawala berpikir. Konten yang seragam, kata dia, menciptakan filter bubble dan echo chamber yang membentuk persepsi kebenaran tunggal serta memantik sikap militan.
“Algoritma membombardir individu dengan konten sejenis sehingga memunculkan ruang pengetahuan yang sempit dan rentan memicu kebencian,” tambahnya.
Karena itu, ia menekankan perlunya penanganan komprehensif dan kolektif dari sekolah, keluarga, pemerintah, hingga masyarakat luas.
“Radikalisasi anak melalui ruang digital adalah masalah nyata dan kompleks. Membangun masyarakat yang kritis butuh perjalanan panjang. Dengan kepedulian sosial, kita bisa mengantisipasi kecenderungan ekstrem,” tegasnya
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!