Jakarta – Pengamat terorisme, Amir Mahmud, menilai kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta yang dilakukan seorang siswa kelas 12 tidak hanya mengungkap persoalan teknis, tetapi terutama lemahnya literasi digital dan kontrol sosial di lingkungan pelajar. Ledakan yang terjadi pada Jumat (7/11/2025) itu menampilkan fakta mencengangkan: seorang remaja mampu merakit tujuh bom aktif yang kemudian diledakkan di area sekolah.
Menurut Amir, kemajuan teknologi saat ini memungkinkan siapa saja mengakses informasi sensitif, termasuk cara merakit bom, hanya melalui internet. Hal itu membuat anak di bawah umur sekalipun dapat mempelajari teknik berbahaya secara mandiri.
“Pelaku kemungkinan besar belajar dari konten yang mudah ditemukan di internet. Itu sangat mungkin dan memang mudah dipelajari. Namun persoalan utamanya bukan teknologinya, tetapi lemahnya literasi digital dan kontrol sosial di sekitar pelaku,” ujar Amir, dikutip Rabu (12/11/2025).
Ia menekankan bahwa keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar seharusnya berperan aktif membimbing anak untuk memahami risiko penggunaan teknologi, serta memberi pengawasan yang memadai terhadap aktivitas digital mereka.
Amir juga menyoroti pola pendidikan yang selama ini lebih mengajarkan apa yang harus dipelajari anak, bukan bagaimana cara berpikir yang benar. Akibatnya, banyak remaja tidak memiliki kecakapan berpikir kritis dalam menilai tindakan mereka sendiri.
“Sekolah dan keluarga jarang mengajarkan how to think, tetapi lebih fokus pada what to learn. Anak akhirnya tidak terbiasa bersikap kritis terhadap perilakunya sendiri,” tegasnya.
Ketiadaan kemampuan berpikir kritis itu, lanjut Amir, dapat membuat anak mudah melakukan tindakan yang merugikan orang lain tanpa mempertimbangkan dampak luasnya. Selain itu, lemahnya penanaman nilai humanisme membuat mereka kurang peka terhadap konsekuensi sosial dari tindakan berbahaya.
“Ini dapat berujung pada tindakan yang merusak tatanan kehidupan berbangsa. Mereka tidak menyadari bahwa perilaku itu dapat mencederai dirinya sendiri maupun orang lain,” tambahnya.
Amir kembali menegaskan bahwa kunci pengawasan berada pada literasi digital dan peran lingkungan terdekat. Tanpa penguatan dua aspek tersebut, anak-anak rentan terseret pada aktivitas yang membahayakan.
“Faktor utama di kasus ini bukan teknologi, tetapi kelemahan literasi digital dan kurangnya kontrol sosial di sekitar anak,” pungkasnya.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!