Jakarta — Ledakan yang terjadi di SMAN 72 Jakarta memiliki keterkaitan kuat dengan proses radikalisasi yang berlangsung di ruang digital. Pola paparan ideologi ekstrem melalui media sosial semakin mudah menyasar remaja, terutama lewat konten propaganda dan manifesto kelompok teroris.
“Peristiwa ini tidak bisa dilepaskan dari radikalisasi online. Ada jejak paparan dari konten dan manifesto ekstremis,” ujar pakar terorisme, Noor Huda Ismail, Kamis (13/11/2024).
Ia menambahkan, apabila manifesto yang beredar memang dibuat oleh pelaku dan terhubung dengan motif politik tertentu, aksi tersebut bisa masuk kategori tindakan terorisme. Namun demikian, ia tetap menunggu hasil investigasi resmi untuk memastikan sumber dan konteksnya.
“Tetapi bisa saja manifesto itu bukan buatan dia. Kita tunggu hasil penyelidikan,” imbuhnya.
Noor Huda menjelaskan, kelompok radikal kini menjadikan media sosial sebagai sarana propaganda yang paling efektif. Selain murah dan mudah diakses, ruang digital memberi kesempatan luas untuk menarik simpatisan baru tanpa harus melakukan pertemuan fisik yang semakin ketat pengawasannya.
“Mereka memakai media sosial sama seperti para pebisnis: membangun jaringan, memperluas jangkauan, dan mencari pengikut,” ujar pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian tersebut.
Ia menyebut Jamaah Ansharut Daulah (JAD) sebagai salah satu kelompok yang aktif menyebarkan propaganda di dunia maya. Namun Huda menegaskan, proses radikalisasi modern tidak lagi bersifat tunggal.
“Fenomena ini sekarang disebut Salad of Radicalisation. Seseorang bisa mengambil ideologi dari berbagai kelompok—baik Islam radikal, kelompok kiri, maupun kelompok nasionalis ekstrem,” paparnya.
Kelompok-kelompok ekstrem itu, kata Huda, berupaya menumbuhkan kebencian terhadap pihak yang dianggap musuh, termasuk pemerintah dan kelompok minoritas.
“Mereka melihat pemerintah yang tidak sejalan sebagai tagut, musuh yang layak diserang,” ucapnya.
Noor Huda menekankan BNPT tidak mungkin bekerja sendirian dalam menahan laju penyebaran paham radikal di media sosial. Diperlukan kolaborasi dengan platform digital seperti Meta, TikTok, dan Instagram agar konten berbahaya bisa segera ditindak.
“Kalau ada konten yang memuat ajaran radikal, harus bisa diblokir secepatnya,” sarannya.
Selain itu, ia menilai institusi pendidikan memiliki peran vital dalam penguatan literasi digital. Siswa perlu memahami cara kerja algoritma, bahaya filter bubble, dan risiko paparan misinformasi.
“Orang perlu paham bahwa dunia digital berbeda dengan dunia nyata. Tanpa literasi, mereka mudah terseret narasi yang menyesatkan,” ungkapnya.
Untuk mencegah radikalisasi di tingkat individu, masyarakat diminta lebih kritis dalam menyikapi informasi di media sosial.
“Tidak semua yang kita lihat di media sosial itu benar. Semua perlu ditempatkan dalam konteks. Termasuk narasi pembelaan kelompok tertindas—kita harus memahami konteks agar tidak mudah dimanipulasi,” tandasnya. Sebagai informasi, ledakan di SMAN 72 terjadi pada Jumat, 7 November 2025. Sebanyak 96 orang, mayoritas siswa, mengalami luka-luka. Di lokasi ditemukan simbol serta tulisan pada atribut terduga pelaku yang diduga terkait ideologi ekstrem. Pelaku juga disebut mempelajari pembuatan bahan peledak dari tutorial internet.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!