Jakarta – Insiden ledakan di Masjid SMAN 72 Jakarta Utara saat salat Jumat yang melukai 96 orang menjadi sorotan publik. Polisi mengonfirmasi bahwa bahan peledak berupa bom rakitan atau molotov diduga dibawa oleh salah satu siswa. Dari lokasi kejadian di kompleks Komando Daerah Maritim (Kodamar) TNI AL, Kelapa Gading, petugas menemukan tiga jenis bom, dua di antaranya sempat meledak.
Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, Ken Setiawan, menilai peristiwa ini bukan kejadian tunggal, melainkan bagian dari pola rekrutmen baru kelompok radikal terhadap kalangan pelajar.
“Beberapa waktu lalu Densus 88 telah mengamankan puluhan siswa di berbagai daerah yang terpapar paham radikal. Bahkan ada yang masih duduk di bangku SMP,” ujar Ken, Jumat (7/11/2025).
Menurutnya, kasus di SMAN 72 menunjukkan bahwa kelompok radikal kini memanfaatkan remaja yang rentan secara psikologis — terutama korban perundungan (bullying) — sebagai sasaran utama perekrutan melalui media sosial.
“Motif yang muncul dalam kasus ini berawal dari kekecewaan dan kemarahan akibat perlakuan tidak menyenangkan terhadap pelaku di lingkungan sekolah,” ungkapnya.
Ken menyebut, terduga pelaku dikenal sebagai pribadi pendiam dan tertutup, yang kerap menjadi bahan ejekan teman-temannya. Kondisi itu membuatnya mencari tempat pelarian dan pengakuan diri di dunia maya.
“Latar belakang mereka beragam, ada yang karena bullying, salah pergaulan, salah belajar agama, hingga berasal dari keluarga yang tidak harmonis,” jelasnya.
Dari hasil pemeriksaan, ditemukan jejak digital berupa tayangan kekerasan dan peperangan di kawasan Timur Tengah, seperti Suriah, Libya, dan Palestina, yang kerap disebarkan oleh simpatisan kelompok ekstrem. Ken menilai hal itu menjadi bukti bahwa media sosial kini menjadi sarana utama penyebaran ideologi radikal.
“Kelompok radikal menggunakan algoritma media sosial untuk menjangkau anak-anak yang lemah secara psikologis — korban bully, broken home, atau yang sedang mencari jati diri,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ken menilai minimnya edukasi dan literasi mengenai bahaya radikalisme menjadi faktor mengapa paham ekstrem mudah menyebar di kalangan pelajar.
“Upaya pemerintah dalam pencegahan masih seperti lilin kecil, sedangkan propaganda kelompok radikal sudah seperti obor yang menyala terang,” tegasnya.
Ia pun mengajak seluruh elemen masyarakat — termasuk sekolah, organisasi keagamaan, dan keluarga — untuk memperkuat pendidikan karakter, nilai Pancasila, serta moderasi beragama sebagai tameng utama menghadapi penyebaran paham ekstrem. “Virus radikalisme bisa menjangkiti siapa pun, tanpa melihat usia atau latar belakang. Karena itu, kewaspadaan kolektif sangat penting agar kejadian seperti ini tidak terulang,” tutup Ken.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!