Tulisan di Senjata Mirip Airsoft Gun Diduga Rujuk ke Pelaku Teror Dunia

Tulisan di Senjata Mirip Airsoft Gun Diduga Rujuk ke Pelaku Teror Dunia

Jakarta — Pakar terorisme dan intelijen Ridlwan Habib menilai tulisan yang terlihat pada benda menyerupai senjata api di lokasi ledakan SMAN 72 Jakarta memiliki kemiripan dengan simbol dan nama-nama yang digunakan oleh pelaku teror internasional.

“Nama-nama yang tertulis di senjata itu mengacu pada pelaku teror dunia. Ada Brenton Tarrant dari Selandia Baru yang menewaskan 51 orang, Alexandre Bissonnette pelaku penembakan masjid di Kanada, dan Luca Traini, pelaku serangan bermotif rasis di Italia,” ujar Ridlwan dalam tayangan KompasTV, Jumat (10/11).

Menurut Ridlwan, bila benar benda tersebut milik pelaku, maka penulisan nama-nama itu menunjukkan kemungkinan adanya inspirasi atau rujukan terhadap tindakan ekstremisme global.

Dalam foto yang beredar di media sosial, termasuk akun Instagram @jakut24jam, tampak dua senjata berwarna hitam dengan tulisan putih. Pada salah satu laras tertulis “14 Words. For Agartha”, sementara di badan senjata tertera kalimat “Brenton Tarrant. Welcome to Hell.”

Istilah “14 Words” berasal dari slogan supremasi kulit putih yang berbunyi, “We must secure the existence of our people and a future for white children.”

Menurut arsip Library of Congress Amerika Serikat, slogan itu digagas oleh David Lane, anggota kelompok ekstrem kanan The Order pada 1980-an. Angka 14 merujuk pada jumlah kata dalam kalimat tersebut dan sejak itu menjadi simbol di kalangan neo-Nazi dan gerakan ekstremis kulit putih di seluruh dunia.

Sementara itu, kata “Agartha” berakar dari mitologi esoterik tentang dunia bawah tanah yang digambarkan sebagai peradaban murni tersembunyi. Dikutip dari Encyclopaedia Britannica, konsep ini muncul dalam kisah mistik Tibet dan India, kemudian diadopsi oleh teori Hollow Earth di Eropa abad ke-19.

Dalam ideologi ekstrem kanan modern, mitos Agartha kerap diselewengkan sebagai simbol “dunia ideal” yang dianggap terancam oleh keberagaman, globalisme, dan imigrasi.

Tulisan di senjata itu juga menyinggung sejumlah pelaku teror besar di dunia:

Brenton Tarrant, pelaku penembakan di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, pada 15 Maret 2019. Ia menewaskan 51 orang dan melukai 89 lainnya, serta menyiarkan aksinya secara langsung di media sosial.

Alexandre Bissonnette, mahasiswa asal Kanada, melakukan penembakan di Masjid Kota Quebec pada 29 Januari 2017, menewaskan enam orang dan melukai lima lainnya. Ia dikenal berpandangan anti-imigran dan terpapar ideologi Islamofobia.

Luca Traini, ekstremis sayap kanan asal Italia, menembaki enam imigran Afrika di kota Macerata pada 3 Februari 2018. Ia sempat memberi salam fasis dan membawa bendera Italia sebelum ditangkap. Pengadilan menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara atas aksi bermotif rasis tersebut.

Ridlwan menilai bahwa kemunculan simbol-simbol ekstremis dalam konteks lokal perlu diwaspadai, meskipun belum tentu berkaitan langsung dengan jaringan terorisme internasional. “Yang perlu dilihat bukan hanya senjatanya, tapi pesan ideologinya. Jika benar pelaku menuliskan nama-nama itu, bisa jadi ada indikasi glorifikasi terhadap kekerasan ekstrem,” ujarnya.