Bali – Institusi pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, memegang peran strategis sebagai benteng utama dalam mencegah penyebaran paham intoleransi, radikalisme, dan terorisme (IRET) di kalangan generasi muda.
Hal tersebut disampaikan Akademisi Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, Prof. (H.C.) Dr. Muh. Suaib Tahir, Lc., M.A., saat menjadi narasumber kegiatan Sekolah Damai bertema “Menumbuhkan Ketahanan Satuan Pendidikan dalam Menolak Paham Intoleransi, Kekerasan, dan Bullying di Bali” yang digelar di Aula Disdikpora Provinsi Bali, Denpasar, Kamis (6/11/2025).
Menurut Prof. Suaib, upaya pencegahan radikalisme di lingkungan pendidikan saat ini diarahkan pada peningkatan kapasitas guru dan tenaga pendidik agar mampu melakukan deteksi dini terhadap siswa yang menunjukkan gejala terpapar paham radikal.
“Guru dan tenaga pendidik harus dibekali kemampuan khusus untuk mengenali perubahan perilaku dan pola pikir siswa sebelum mengarah pada tindakan kekerasan. Ini langkah proaktif yang perlu menjadi perhatian serius,” ujarnya.
Ia menjelaskan, deteksi dini yang efektif menuntut guru dapat mengategorikan tingkat paparan siswa—rendah, sedang, atau tinggi—agar intervensi yang diberikan lebih tepat sasaran.
“Siswa dengan paparan rendah mungkin cukup mendapatkan pendampingan konseling, sementara yang tinggi perlu penanganan khusus dengan melibatkan pihak berwenang,” jelasnya.
Selain itu, guru diharapkan tidak hanya mengamati perilaku siswa di sekolah, tetapi juga memperhatikan aktivitas mereka di dunia maya, karena banyak kasus radikalisasi bermula dari ruang digital.
Prof. Suaib menuturkan, pernah ada kasus seorang siswa yang menjadi perhatian aparat setelah menunjukkan gejala penyimpangan dan sempat ingin merusak tempat ibadah. Setelah diselidiki, diketahui siswa tersebut terpapar ideologi radikal melalui game online, menunjukkan betapa rentannya media digital menjadi saluran penyebaran paham kekerasan.
Ia juga menyoroti pentingnya memperhatikan faktor kesehatan mental dan kemampuan adaptasi sosial siswa. Banyak siswa yang kesulitan bergaul dan cenderung menarik diri dari lingkungan sekolah, baik karena faktor keluarga maupun lingkungan sekitar, sehingga lebih mudah terpengaruh oleh narasi ekstrem.
“Penting untuk ditegaskan, terorisme tidak mengenal agama. Siapa pun, dari agama apa pun, bisa terpapar paham radikal yang mengarah pada kekerasan terhadap sesama. Karena itu, pendidikan harus menjadi tempat penanaman nilai toleransi, moderasi beragama, dan wawasan kebangsaan,” tegasnya.
Prof. Suaib juga menyoroti fenomena sebagian siswa yang memilih pindah dari sekolah negeri ke sekolah swasta karena merasa tidak nyaman dengan lingkungan yang lebih plural. Menurutnya, hal ini menjadi tantangan bagi sekolah negeri untuk terus memperkuat iklim pendidikan yang inklusif, terbuka, dan menghargai keberagaman.
“Sekolah harus menjadi ruang aman bagi semua siswa untuk berinteraksi, berdialog, dan tumbuh bersama dalam perbedaan,” ujarnya.
Di akhir paparannya, Prof. Suaib menegaskan bahwa strategi pencegahan IRET di sekolah harus bersifat komprehensif dan berkelanjutan.
“Pencegahan intoleransi, radikalisme, dan terorisme di lingkungan pendidikan harus dimulai dari penguatan kapasitas guru, pemantauan aktivitas siswa termasuk di dunia maya, hingga penciptaan lingkungan belajar yang suportif dan menjunjung tinggi nilai kebhinekaan,” pungkasnya.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!