Paris — Pengadilan Pidana Paris pada Selasa (5/11) menggelar sidang perdana kasus perusahaan semen multinasional Lafarge, yang didakwa mendanai kelompok teroris dan melanggar sanksi internasional saat beroperasi di Suriah.
Sidang dimulai sekitar pukul 14.00 waktu setempat, dengan Lafarge dihadirkan sebagai badan hukum dan delapan pejabat perusahaan sebagai terdakwa individu. Hakim Isabelle Prévost-Desprez memimpin jalannya persidangan yang dijadwalkan berlangsung hingga 16 Desember 2025.
Dalam sidang pembuka, pengadilan membacakan surat dakwaan, mencatat daftar saksi, dan menerima permohonan pihak-pihak yang ingin memberikan kesaksian.
Pengacara pihak korban, Elise Le Gall, menilai para pekerja Lafarge berhak diakui sebagai korban pendanaan terorisme, sebab perusahaan diduga melakukan pembayaran kepada kelompok bersenjata di Suriah.
“Karena pembayaran itu, pekerja dipaksa melewati pos-pos kelompok teroris. Beberapa bahkan menjadi korban penculikan,” ujar Le Gall di ruang sidang.
Sementara pengacara korban lainnya, Joseph Breham, menekankan bahwa proses panjang menuju persidangan ini merupakan bentuk perjuangan korban untuk mendapatkan keadilan setelah bertahun-tahun.
Tim pembela Lafarge berargumen bahwa pembayaran kepada kelompok bersenjata dilakukan “bukan karena niat mendukung terorisme, melainkan upaya mempertahankan operasional dan keselamatan staf.”
Sidang turut dihadiri perwakilan organisasi Sherpa dan European Center for Constitutional and Human Rights (ECCHR). Menurut Anna Kiefer dari Sherpa, perkara ini menjadi “ujian penting bagi sistem hukum Prancis” dalam menegakkan tanggung jawab korporasi di wilayah konflik.
“Memberi dana kepada kelompok teroris sudah cukup untuk dianggap bersalah, bahkan tanpa niat eksplisit untuk mendukung mereka,” tegas Kiefer.
Perwakilan ECCHR, Cannelle Lavite, menyoroti ketimpangan perlakuan terhadap pekerja: saat konflik memburuk pada 2012, manajemen mengevakuasi staf asing tetapi memaksa pekerja lokal tetap di lokasi berbahaya.
Sherpa dan ECCHR dalam pernyataan bersama menyebut sidang ini sebagai “peluang historis” bagi pengadilan Prancis untuk menegaskan batas tanggung jawab korporasi multinasional di zona konflik, sekaligus memberi ruang bagi mantan karyawan Lafarge di Suriah untuk menyuarakan pengalaman mereka.
Apabila terbukti bersalah, delapan terdakwa individu terancam hukuman penjara hingga 10 tahun dan denda EUR225 ribu. Lafarge sebagai entitas hukum dapat dijatuhi denda maksimum EUR1,125 juta, ditambah sanksi tambahan.
Jika terbukti melanggar sanksi keuangan internasional, perusahaan dapat dikenai denda hingga 10 kali lipat nilai pelanggaran, atau sekitar EUR46 juta.
Kasus ini bermula pada 2017 setelah muncul dokumen investigasi yang diterbitkan oleh Anadolu Agency, mengungkap bahwa Lafarge mendanai ISIS (Daesh) dengan sepengetahuan intelijen Prancis.
Dokumen itu menyebutkan, Lafarge secara rutin memberi laporan kepada aparat intelijen tentang hubungan dan pembayaran mereka kepada ISIS. Namun, otoritas Prancis saat itu tidak mengambil tindakan tegas.
Semen produksi Lafarge bahkan disebut digunakan oleh ISIS untuk membangun terowongan dan bunker pertahanan. Mahkamah Kasasi Prancis pada 2021 memutuskan bahwa Lafarge dapat dituntut atas kejahatan terhadap kemanusiaan, menjadikan perkara ini salah satu kasus korporasi paling kontroversial di Eropa modern.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!