BRIN Teguhkan Moderasi Beragama sebagai Pilar Pencegahan Radikalisme

Jakarta — Munculnya berbagai aksi kekerasan atas nama agama dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa paham radikal masih menemukan ruang tumbuh di tengah masyarakat. Tantangan ini menjadi perhatian serius Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PR AK) yang menggelar Webinar Series bertajuk “Menangkal Radikalisme Melalui Moderasi Beragama”, Kamis (30/10/2025).

Kegiatan tersebut menjadi ruang dialog akademik sekaligus wadah merumuskan strategi membangun harmoni dan memperkuat ketahanan sosial bangsa.

Kepala PR AK BRIN Aji Sofanudin menjelaskan, lembaganya sejak 2023 aktif meneliti isu ekstremisme dan terorisme dalam konteks sosial dan keagamaan.

“Publikasi tentang isu terorisme tahun 2025 cukup banyak. Kami terus melakukan riset mengenai agama, ekstremisme, dan terorisme untuk memberi masukan kebijakan berbasis data,” ujar Aji.

Ia menuturkan, kajian yang dilakukan PR AK meliputi penyebaran paham ekstrem di kalangan mahasiswa melalui media sosial, penyalahgunaan dana filantropi untuk pendanaan terorisme, hingga pemanfaatan filantropi untuk program deradikalisasi.

“Kami juga meneliti pengaruh dakwah di lembaga pemasyarakatan, pendidikan anak pelaku teror, serta tantangan regenerasi terorisme,” tambahnya.

Aji menekankan, hasil riset ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam merumuskan kebijakan pencegahan dan penanganan terorisme, terutama bagi kelompok muda, perempuan, dan anak-anak.

“Kami ingin menyediakan masukan konkret agar dana filantropi bisa dimanfaatkan untuk program deradikalisasi dan reedukasi ideologis bagi mantan narapidana terorisme,” ungkapnya.

Peneliti PR AK BRIN Mulyana dalam paparannya menyoroti pentingnya penguatan moderasi beragama sebagai strategi pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan.

“Dua tahun terakhir Indonesia tidak mengalami serangan teror fisik. Namun, ancaman ekstremisme masih nyata karena jaringan ekstremis tetap aktif,” jelasnya.

Menurut Mulyana, riset PR AK menunjukkan bahwa moderasi beragama efektif menjadi “tembok ideologis” dalam menangkal ekstremisme. Karena itu, ia merekomendasikan agar prinsip moderasi beragama diintegrasikan ke dalam Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) 2025–2029.

Peneliti lainnya, Rudy Harisyah Alam, menekankan pentingnya kolaborasi lintas lembaga dan masyarakat dalam menghadapi ancaman terorisme.

“Program deradikalisasi sangat penting agar mantan narapidana terorisme tidak kembali terlibat dalam aksi kekerasan,” ujarnya.

Hasil riset Rudy menunjukkan adanya perubahan kognitif yang signifikan di kalangan peserta program deradikalisasi. Namun, ia menegaskan bahwa pendekatan ekonomi harus disertai re-edukasi ideologi agar hasilnya berkelanjutan.

“Deradikalisasi tidak cukup hanya memberi bantuan ekonomi. Harus disertai penyadaran nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan,” tambahnya.

Dalam sesi berikutnya, peneliti PR AK BRIN Novi Dwi Nugroho menampilkan studi kasus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Ciamis sebagai contoh keberhasilan penerapan moderasi beragama di tingkat lokal.

“Para pengurus FKUB Ciamis memahami moderasi beragama sebagai sikap tawassuth — jalan tengah yang menolak ekstremisme. Prinsip kasih sayang dan toleransi sejatinya sudah tertanam dalam ajaran setiap agama,” jelasnya.

Novi menegaskan, FKUB memiliki peran vital sebagai garda depan penjaga kerukunan di tengah masyarakat multikultural.

“Moderasi beragama bukan hanya wacana, tapi harus dihidupkan dalam praktik keseharian umat,” ujarnya.

Kegiatan ini menegaskan komitmen BRIN untuk menjadikan riset keagamaan sebagai fondasi kebijakan publik dalam memperkuat harmoni sosial dan mencegah ekstremisme. Moderasi beragama bukan sekadar konsep akademik, tetapi jalan tengah yang menuntun bangsa menuju kehidupan beragama yang damai, inklusif, dan berkeadaban.