Jakarta — Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkap bahwa jaringan terorisme kini semakin gencar menargetkan kelompok rentan seperti perempuan, remaja, dan anak-anak. Mereka dinilai lebih mudah terpapar pengaruh paham radikal melalui pendekatan emosional, sosial, dan media digital.
Hal tersebut disampaikan oleh Staf Humas BNPT, Andini Putri Arijanto, dalam seminar sosialisasi antiterorisme bertajuk “Kebangsaan, Terorisme, dan Perdamaian” yang digelar di SMA Tarakanita 1, Jakarta Selatan, bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, Selasa (28/10/2025).
Andini menjelaskan, berdasarkan hasil riset I-Khub Outlook BNPT 2023, terjadi pergeseran pola keterlibatan perempuan dalam jaringan terorisme — dari yang semula menjadi korban, kini sebagian justru direkrut menjadi pelaku aktif.
“Kenapa perempuan? Karena mereka memiliki sisi empatik yang tinggi, sabar, penyayang, dan sering dipercaya oleh orang di sekitarnya. Karakter ini disalahgunakan oleh jaringan teror yang pandai memanipulasi emosi,” ujar Andini.
Ia menambahkan, perempuan juga sering kali tidak dicurigai ketika terlibat dalam aktivitas jaringan teror, sehingga menjadi target strategis dalam perekrutan dan penyebaran ideologi.
Selain perempuan, anak-anak dan remaja juga termasuk dalam kelompok paling rentan. Anak-anak, kata Andini, sering kali menjadi korban paparan ideologi ekstrem dari lingkungan keluarga atau pendidikan.
“Anak-anak belum punya banyak pilihan dan kemampuan menyaring informasi. Mereka bisa terpapar dari orang tua, lingkungan, atau satuan pendidikan,” ujarnya.
Sementara itu, remaja disebut lebih berisiko karena berada dalam fase pencarian jati diri dan cenderung emosional. Kondisi ini diperparah dengan tingginya aktivitas mereka di media sosial.
“Kelompok teror memanfaatkan rasa ingin tahu remaja dan dunia digital untuk menanamkan paham intoleransi. Media sosial menjadi pintu masuk utama,” jelas Andini.
Dalam kesempatan itu, Andini juga membeberkan ciri umum kelompok radikal yang mudah dikenali masyarakat, di antaranya: Anti-Pancasila dan menolak Bhinneka Tunggal Ika, Menganggap pihak yang berbeda pandangan sebagai musuh atau pengkhianat, Menyelewengkan ajaran agama dan memaksakan pendirian negara berdasarkan tafsir sempit mereka sendiri.
“Tidak ada agama yang mengajarkan terorisme. Mereka hanya menunggangi narasi agama mayoritas untuk membenarkan aksi kekerasan,” tegasnya.
Menurut Andini, jaringan terorisme bekerja secara terorganisir, terstruktur, dan lintas negara — dengan sistem perekrutan, pendanaan, serta propaganda ideologis yang masif.
“Kalau narkoba menyerang fisik, maka terorisme menyerang pikiran. Karena itu, kita harus memperkuat daya tangkal ideologi di semua lapisan masyarakat,” pungkasnya.
BNPT berharap masyarakat, sekolah, dan keluarga dapat menjadi benteng pertama dalam mencegah penyebaran paham radikal di kalangan muda. Momentum Hari Sumpah Pemuda, kata Andini, harus menjadi pengingat bahwa semangat persatuan dan cinta tanah air adalah benteng paling kuat melawan terorisme dan perpecahan bangsa.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!