Semarang – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Eddy Hartono mengingatkan masyarakat untuk lebih waspada terhadap potensi penyebaran paham radikal melalui gim daring, salah satunya Roblox. Ia menilai, platform tersebut berisiko dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk menanamkan ideologi kekerasan dan perlawanan terhadap pemerintah, terutama kepada anak-anak.
“Gim seperti Roblox memungkinkan siapa pun membuat simulasi sendiri. Nah, dalam beberapa kasus, ada yang membuat gim dengan narasi melawan pemerintah atau menanamkan isu sosial, ekonomi, dan budaya yang dikemas dalam bentuk permainan,” ujar Eddy dalam pidatonya pada acara Sosialisasi Peraturan BNPT Nomor 3 Tahun 2020 dan Pra-asesmen Sistem Pengamanan Objek Vital Strategis di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Selasa (14/10/2025).
Menurut Eddy, kelompok teroris kerap menggunakan gim atau forum daring sebagai pintu masuk untuk menjaring calon simpatisan muda. Salah satu caranya adalah menyebarkan tautan jebakan (link) yang membawa pemain keluar dari gim menuju grup perpesanan seperti Telegram atau WhatsApp, di mana proses penyebaran ideologi berlangsung lebih intensif.
“Di situlah mereka mulai memasukkan narasi-narasi tertentu. Misalnya, lewat kitab atau buku yang sering dijadikan rujukan jaringan terorisme, seperti Muqarrar Tauhid,” jelasnya.
Eddy mengungkapkan bahwa buku tersebut ditulis oleh seorang warga negara Indonesia yang pernah bergabung dengan kelompok ekstrem di Suriah. Dalam isi buku itu disebutkan bahwa demokrasi dianggap haram dan pemerintah disebut sebagai tagut, ajaran yang kerap dijadikan justifikasi untuk melawan negara.
“Ini jadi perhatian kita semua. Orang tua harus mengawasi anak-anaknya, terutama yang masih SD atau SMP, saat bermain media sosial atau gim daring,” tegas Eddy.
Ia menambahkan, anak-anak dari keluarga bermasalah—seperti anak broken home—lebih rentan terpapar ideologi ekstrem karena memiliki celah emosional yang mudah dimanfaatkan oleh kelompok radikal.
“Kadang anak-anak seperti ini mulai menolak berinteraksi bahkan dengan orang tuanya karena sudah terpengaruh paham itu,” katanya.
Lebih lanjut, Eddy menegaskan bahwa ancaman terorisme kini bergeser ke ruang siber yang jauh lebih sulit diawasi.
“Walau dua tahun terakhir tidak ada aksi teror terbuka, namun di bawah permukaan justru masih berjalan proses propaganda, rekrutmen, dan pendanaan. Sekarang mereka beroperasi di dunia maya, seperti teori gunung es,” tuturnya.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!