Saat Perempuan Tak Lagi Hanya Korban dalam Aksi Terorisme

Malang – Upaya penanggulangan terorisme di Indonesia dinilai masih berpijak pada paradigma lama. Selama ini, perempuan kerap diposisikan sebagai korban atau pendamping pelaku laki-laki, padahal dalam beberapa tahun terakhir justru muncul tren baru: sebagian perempuan mulai terlibat aktif dalam jaringan kekerasan ekstrem.

Pandangan tersebut disampaikan Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB), Milda Istiqomah, dalam diskusi publik internasional yang digelar pada Selasa (14/10/2025). Ia menilai kerangka hukum dan kebijakan pemberantasan terorisme di Indonesia masih tidak sensitif terhadap dimensi gender, atau bahkan mengabaikan faktor sosial yang melatarbelakangi keterlibatan perempuan dalam aksi teror.

“Selama dua tahun terakhir memang tidak ada serangan teroris, tetapi kita harus waspada terhadap tren baru, yaitu meningkatnya partisipasi perempuan dalam jaringan terorisme,” ujar Milda.

Menurutnya, peristiwa bom bunuh diri Surabaya 2018 dan penyerangan di Mabes Polri 2021 menjadi contoh nyata bahwa perempuan tidak lagi hanya menjadi pengikut, melainkan juga pelaku yang digerakkan oleh motivasi ideologis, sosial, maupun personal.

“Perempuan kini bukan sekadar korban doktrin. Mereka bisa menjadi agen ideologis yang aktif dalam penyebaran paham ekstrem,” jelasnya.

Milda menilai, pergeseran ini belum direspons memadai oleh kebijakan hukum nasional. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, misalnya, disusunnya masih bersifat netral gender, tanpa mempertimbangkan latar sosial, pengalaman, dan kerentanan perempuan dalam konteks ekstremisme kekerasan.

“Kita belum memiliki kebijakan kontra-terorisme yang berbasis gender. Rumusan pasal dalam undang-undang masih bersifat umum, padahal pendekatan terhadap pelaku laki-laki dan perempuan seharusnya tidak disamakan,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya membangun pendekatan kebijakan yang lebih peka gender, tidak hanya berorientasi pada hukuman, tetapi juga membuka ruang rehabilitasi dan deradikalisasi yang sesuai dengan pengalaman perempuan.