JAKARTA – Ulama adalah figur sentral dalam memberikan pencerahan tentang kebenaran dan perdamaian. Apalagi menghadapi ancaman paham kekerasan dan aksi-aksi terorisme, yang mengatasnamakan agama. Diharapkan ulama bisa memberikan pemahaman tentang jalan yang benar yaitu agama Islam yang rahmatan lil alamin serta tentang hakikat jihad yang benar. “Melawan terorisme itu tidak semata menggunakan kekuatan militer. Akan lebih baik bisa melakukan pencegahan dengan menggunakan soft power. Disinilah tugas ulama dan para imam masjid sangat dibutuhkan, terutama untuk terus menggaungkan syiar tentang agama Islam yang rahmatan lil alamin sekaligus meluruskan propaganda-propanda negatif yang dilancarkan pihak-pihak yang ingin menodai agama Islam dan merusak peradaban dunia,” kata Anggota Komisi VIII DPR RI KH Maman Imanulhaq, Selasa (29/9/2015).
Menurut politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini, ulama harus menjadi fasilitator dan mediator untuk menciptakan perdamaian di tengah konflik kekerasan yang mengatasnamakan agama. Ulama dan kiai dinilainya memiliki pengaruh besar dalam sistem kemasyarakatan di Indonesia, terutama lingkungan kiai tersebut tinggal. “Apa yang dikatakan dan diajarkan kiai atau imam masjid, selalu menjadi pegangan dalam masyarakat sekitar,” tukas Kiai Maman. Ia mengatakan bahwa aksi terorisme berawal dari sebuah pemahaman yang salah tentang jihad. Bahkan jihad itu telah dijadikan paham ideologis yang melahirkan sikap puritan. Setidaknya ada 4 ciri sikap puritan ini. Pertama, tidak toleran terhadap perbedaan, Kedua, cenderung berpikir literalis dan mengabaikan aspek lokal dan sejarah, Ketiga, memilih jalan kekerasan dan kebencian, daripada dialog dan persaudaraan dan Keempat bersikap picik dan eksklusif dan melakukan sesuatu tanpa tujuan dan misi yang jelas. “Puritanisme secara perlahan tapi pasti akan menumbuhkan radikalisme yang pada akhirnya memunculkan terorisme,” ungkap Pengasuh Ponpes Al-Mizan Sumedang ini.
Sejauh ini, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah menjalankan program pencegahan paham kekerasan dan terorisme dengan menggandeng berbagai lembaga, dan unsur-unsur masyarakat terkait antara lain Kemenkominfo, Dirjen Dikti Kemenristek, Kemenpora, Kemendagri, Perguruan Tinggi, Pesantren, Komunitas Dunia Maya, dan lain-lain. Seperti pada 29-30 September 2015, BNPT menggelar Workshop Dahun Damai di Dunia Maya dan Dialog Pencegahan Terorisme dan ISIS di Banda Aceh.
Dalam kegiatan ini, BNPT menggandeng tiga organisasi sekaligus, mereka adalah organisasi yang selama ini terlibat aktif dalam usaha menangkal segala ancaman kekerasan, baik kekerasan fisik maupun simbolik. Ketiga organisasi tersebut adalah Indonesia Backtrack Team (IBT), Ikatan Imam Masjid se-Provinsi Aceh, dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Aceh.
Kiai Maman pun mendukung apa yang dilakukan oleh BNPT terutama merangkul keberadaan ulama dan khatib dalam pencegahan terorisme dan kekerasan. “Perlu ada kampanye pencegahan paham kekerasan dan terorisme melalui melalui materi khotbah. Caranya ya seperti yang dilakukan BNPT dengan mendatangi dan memberi pemahaman yang benar kepada para kiai, baik itu kiai dari pondok pesantren besar maupun kiai langgar,” tutur Kiai Maman.
Sementara itu, Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yakub yang juga Ketua Umum Ikatan Persaudaran Imam Masjid (IPIM) menjelaskan bahwa saat ini umat sedang diadu, salah satu pemicunya adalah adanya imam-imam masjid yang terkadang kurang pembekalan. Akibatnya, masjid sering digunakan untuk memecah-mecah umat. Karenanya IPIM hadir untuk mengakhiri tren pengajaran agama yang kerap menyisipkan ajakan kekerasan dan permusuhan tersebut.
Tugas utama IPIM, seperti dijelaskan oleh Ali Mustafa Yakub adalah memperkenalkan Islam yang ramah, bukan Islam yang marah. Imam masjid diakuinya memiliki peran penting dalam menebar ajaran agama yang damai, karena mereka selalu kontak dengan masyarakat minimal lima kali sehari (sholat jamaah di masjid).