Banda Aceh – Intoleransi mungkin tampak sepele, tapi dari situlah benih radikalisme tumbuh dan berujung pada terorisme. Pesan inilah yang ditekankan Kasubdit Kemneg Direktorat Intelkam Polda Aceh, AKBP Afriadi, kepada ribuan mahasiswa baru Universitas Syiah Kuala (USK).
“Intoleransi dapat menyuburkan sikap anti-Pancasila dan memicu disintegrasi bangsa,” ujarnya saat menjadi narasumber kegiatan Pembinaan Akademik dan Karakter Mahasiswa Baru (PAKARMARU) di Gedung AAC Dayan Dawood, Selasa (12/8/2025).
Ia menjelaskan, intoleransi adalah sikap menolak hak-hak politik dan sosial kelompok yang berbeda pandangan. Radikalisme merupakan paham yang menginginkan perubahan sistem dengan cara ekstrem, termasuk kekerasan. Terorisme adalah puncaknya, yakni tindakan atau ancaman kekerasan yang menebar rasa takut luas demi motif ideologi atau politik.
Afriadi memberi contoh sederhana intoleransi: enggan beradaptasi, mengadakan pengajian tertutup, menolak bergaul, atau tak mau mendengar pendapat orang lain. “Intoleransi bisa berkembang menjadi radikalisme. Radikal berarti mulai membenci pemerintah dan menolak UUD 1945. Sedangkan terorisme adalah wujud nyatanya,” jelasnya.
Ia mengibaratkan proses itu seperti pohon kelapa: akarnya intoleransi, batangnya radikalisme, dan buahnya terorisme.
Afriadi juga menyinggung kasus nyata pada 2011, saat Aceh terpapar aliran Milah Ibrahim dan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Meski sebagian pengikutnya berhasil dibina kembali, pada 2016 aliran itu muncul lagi dan menyasar mahasiswa serta masyarakat. Dari 16 orang yang diamankan, enam di antaranya terbukti memenuhi unsur pidana.
“Persoalan ini terlihat sepele, tapi dampaknya sangat berbahaya,” tegasnya. Ia mengapresiasi kegiatan edukasi seperti PAKARMARU karena memberi bekal bagi generasi muda agar tidak mudah terpengaruh paham ekstrem.
“Generasi muda adalah penerus bangsa. Jangan biarkan mereka dirusak oleh pengaruh media sosial, intoleransi, radikalisme, dan terorisme,” pungkasnya.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!