Radikalisme Digital Mengintai Generasi Muda, Butuh Sinergi Serius untuk Mencegah

Jakarta – Penyebaran ideologi radikal kini tak lagi hanya berlangsung di ruang-ruang publik fisik, tetapi juga menjalar diam-diam melalui gawai pribadi. Aplikasi pesan instan, kolom komentar media sosial, hingga forum diskusi anonim menjadi medium subur penyebaran paham kekerasan yang menyasar generasi muda, terutama kelompok usia 18–24 tahun.

Ketua Fraksi PDI Perjuangan Ahmad Basarah menegaskan bahwa terorisme masih menjadi ancaman nyata—meskipun bentuknya kini lebih tersembunyi.

“Beberapa tahun terakhir memang tak terlihat aksi besar seperti bom bunuh diri, namun itu bukan berarti konsolidasi kelompok teroris berhenti. Kasus Zakiah Aini adalah alarm yang belum benar-benar padam,” ujar Basarah dalam rapat dengar pendapat Komisi XIII DPR RI bersama Kepala BNPT Komjen Pol Eddy Hartono di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (17/7/2025), 

Ia menyampaikan kekhawatirannya bahwa ideologi kekerasan kini tumbuh dalam bentuk intoleransi pasif—sebuah fase awal sebelum berubah menjadi aksi radikal. Media sosial, menurutnya, menjadi alat ampuh dalam menyebarkan doktrin kebencian secara cepat dan masif.

Basarah mengutip pernyataan Ali Imron, pelaku Bom Bali yang kini menjadi narapidana terorisme, untuk menggambarkan cepatnya proses radikalisasi: “Hanya butuh dua jam untuk menjadikan seseorang sebagai teroris, tapi butuh waktu bertahun-tahun untuk menyembuhkannya.”

Ia menekankan pentingnya pendekatan lintas sektor dan sinergi lembaga negara dalam menangkal infiltrasi ideologi kekerasan terhadap anak muda. Menurutnya, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) perlu meningkatkan langkah pencegahan berbasis digital dengan strategi yang lebih efektif dan menyentuh akar masalah.

“Kami minta BNPT lebih serius dan terkoordinasi dalam menghadapi ancaman ini. Generasi muda harus dilindungi dari propaganda ekstrem yang merusak nalar dan moral kebangsaan mereka,” tegasnya.